Minggu, 23 Maret 2014

Ketika Saling Menghargai Tak Bisa Disatukan



G
elas berisi minuman sari jeruk dan kue cokelat hangat masih belum disantap bahkan disentuh, sengaja dibiarkan agar kebiasaan kurang menghargai dapat tercipta di dalam dirimu yang bersih itu. Aku sengaja tak berlama-lama memandangimu agar kau bisa memulai semua itu, dirimu yang dulu bukanlah yang sekarang. Terkadang aku menahan rasa emosi dan rasa temperamentalku untuk itu, tapi kau tak pernah merespon dengan satu kata pun, tapi semuanya tak membuatku semakin putus harapan, sambil ku amati raganya, masihkah dia menghargai aku sebagai pasangannya?
Hingga malam pun engkau tak menyentuh makanan dan minuman yang aku sediakan untukmu, apa itu belum cukup untuk itu semua? Apa kau menungguku untuk mengatakan “Kamu makan dong makanan yang aku sediakan, nanti mubazir kalau enggak dimakan.”? Mencoba menahan amarah dan emosiku dengan proteksi yang maksimal. Namun apa hasilnya? Tidak dihargai bahkan makin tidak dihargai.
Menunggu dan menunggu, hal itu yang aku selalu terpintas, bahkan kepala sudah hampir pecah melihat sikapmu yang aneh itu. Aku mencoba merenung, cepat membuang semua arogansi yang aku punya untuk dilampiaskan padanya. Menunggu, menunggu, dan menunggu hingga ia mau menghargaiku.
Sebagai strategi pertama, aku mengajak dia untuk makan malam bersama, di Kafe Matahari yang buka hampir 20 jam itu. Seperti biasa, aku meneleponnya dan menyuruh menungguku di rumahnya.
“Halo, sayang, aku mau ngajakin kamu makan malam ini. Mau enggak?” kalimat pertama yang kuucap di awal percakapan.“Hmm,, tapi aku mau kamu bayarin semuanya ya sayang.” Dia mulai menampakkan sikap manja yang berlebihan. “Iya, sayang. Tenang aja, pasti aku bayarin kok!” aku menantang dia untuk mengiyakan kemauannya. “Kalo gitu, kamu jemput aku di depan rumahku, jam delapan. Oke, love you!.” Ia menutup telepon dengan kata kata manis namun memaksa.
Aku menunggu di depan rumahnya, tepat jam delapan, dan menantinya terus hingga ia keluar. Tapi sudah hampir lima belas menit aku menunggu cukup lama, ia tak kunjung keluar. Lalu seorang satpam rumahnya menghampiriku.
“Nak, Non Mira lagi jalan jalan sama teman-temannya. Besok lagi aja Nak Vito kesini.”
Tampak aku hanya terdiam dan hampir menganga ketika aku menunggu dia cukup lama, dan ternyata ia pergi bersama teman-temannya ke mal. Entah ia mau meneruskan hubungannya denganku, menghargai dan saling menghargai sudah hampir nol persen, tak ada rasa perhatian dan cinta. Yang ditinggalkan hanya penyesalan dan amarah yang meletup-letup setibanya di rumah, tidak kusangka, ia membohongiku begitu dalam!
Kini aku tetap memutuskan untuk tetap mengakhiri kisahku dengannya, percuma dipertahankan tapi yang ada malah menyakiti hati dan perasaan. Sontak, ia menangis karena hubungan cinta kita telah berakhir, tapi aku tak peduli dan tetap dengan pendirianku, putus dengannya! Dan perjalanan kisah kita usai sampai disini.
Tapi dari sinilah aku dapat belajar bahwa ketika saling menghargai dan menghargai sulit menyatu kalau pasangan kita semakin tidak setia bahkan munafik. Yaa,, walau itu menyakitkan buatku, tetapi aku tetap bersemangat dan berselera walau tanpa kehadirannya. Oke, aku bakal jadi jomblo bahagia!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar