Minggu, 23 Maret 2014

Balasan Untuk Ibu Tiri Kejam



Khumairah, sosok anak kecil berusia delapan tahun, cantik, lugu dan pintar. Akan tetapi ia harus menelan segala kejadian pahit, sang ibu yang sangat disayanginya, pergi untuk selamanya. Ayahnya, sudah mencari tambatan hati yang baru menggantikan posisi istrinya yang sudah meninggal, namanya adalah Shinta, ibu dua anak, Dian dan Trian, mereka menikah dan menempati rumah baru, namun gelagat licik ditunjukkan Shinta untuk menguasai harta suaminya itu.
“Sebentar lagi, rumah dan seluruh isinya akan jadi milikku. Aku tinggal tunggu waktu aja untuk miliki semuanya.”
Suaminya menunjukkan seluruh isi rumahnya itu, tapi tidak bagi Khumairah, ia punya firasat yang kurang mengenakkan saat mereka memasuki rumah mereka dan menjadi anggota baru keluarganya. Dian dan Trian, kedua adik tiri mereka, merasa senang menempatinya dan memilih kamar yang cocok buat mereka, tapi dengan gelagat sombong, mereka menyikut Khumairah yang ada didepannya.
“Dek, asik ya kita punya tempat tinggal baru. Ayo liat kamar yang cocok buat kita.”
Fajar, ayah Khumairah, akan pergi ke Belanda untuk soal bisnis,  ia berpesan pada Shinta agar menjaga dirinya dan anak-anak selama ia pergi. Kesempatan inilah yang diperbuat Shinta untuk memperbudak Khumairah agar bisa menguasai harta dan isi rumah Fajar tanpa sepengetahuannya.
“Shinta, tolong jaga anak-anak ya. Selama aku pergi, jaga dirimu baik-baik dan jaga juga anak-anak.”
“Iya, Mas. Aku pasti bakal jaga anak-anak kok.”
Di benaknya, Shinta punya rencana yang sangat bagus dan menurutnya sangat stimulus untuk memuluskan rencananya itu.
“Bagus, sekarang mas Fajar pergi, dan aku bisa perbudak anaknya. Dan tinggal tunggu waktu aja, aku bakal bisa kuasai rumah ini dan menyingkirkan Khumairah dari dunia ini. Hahahahahahaha…”
Pembantu andalan keluarga Khumairah diusir oleh Shinta, ia menganggap kerjanya tidak becus dan terlalu payah. Dan ia memberi uang pesangon senilai tiga juta rupiah sebelum pergi meninggalkan rumah itu.
“Nih, uang pesangon kamu. Uang sebesar tiga juta rupiah buat Bibi!”
“Apa ini, Nyonya?”
“Bi, mulai sekarang Bibi enggak boleh kerja disini lagi, karena Bibi tuh enggak becus, payah dan lemot kerjaannya. Jadi, silahkan pergi dari sini.. sana pergi!!”
Khumairah sudah merasa curiga, sebenarnya mengapa Bibi pergi dari rumah tanpa pemberitahuan ayahnya. Tapi, semua terlambat, Shinta sudah menghandle­ semuanya dan tak ada rasa curiga sedikitpun dengan memberi kabar pada Fajar lewat sambungan telepon. Gelagat liciknya masih ditunjukkan olehnya.
“Halo, Mas, kayaknya Bibi udah enggak kerja di rumah kita lagi deh.”
“Lho, emang kenapa?”
“Katanya ia mau ngerawat anaknya yang sakit keras, Mas. Dan aku dah kasih uang untuk biaya rumah sakit anaknya.”
“Oh ya udah, tapi kamu bisa urus pekerjaan rumah tangga kan?”
Shinta gugup, ia tak menjawab perkataan Fajar, lalu diteruskan dengan cara yang paling licik dan rasa munafik yang tinggi.
“Biar aku aja deh yang cariin pembantu. Kan gitu-gitu biar bisa bantuin rumah kita.”
“Ya udah, jaga dirimu baik-baik ya. Aku tutup dulu, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Mas.”
Keesokan harinya, Shinta sudah siap dengan planning yang ia buat, ia membangunkan Khumairah dengan menyiram wajahnya di kamar tidurnya. Dengan kejamnya, ia mulai memperbudak Khumairah yang masih setengah mengantuk.
“Heh, bangun! Udah siang, cepet siapin sarapan buat kami!”
“Iya, Ma. Nanti aku siapin buat kalian.”
“Oh ya satu lagi, mulai sekarang kamu yang akan menjadi pembantu di rumah ini. Mulai dari ngepel, nyuci, masak, apapun, kamu harus kerjain semuanya. Dan ingat, jangan pernah katakana semuanya pada siapapun! Ngerti kamu!!!”
Sepertinya rencana Shinta untuk semuanya sudah berhasil, memperbudak Khumairah dengan seenaknya tanpa melihat kepolosan dan fisiknya yang masih kecil. Belum lagi, ia belum merencanakan bagaimana caranya agar bisa menyingkirkan Khumairah dari dunia ini.
“Hahahahahaha… bagus, bagus. Rencana pertama berhasil, sekarang tinggal susun rencana untuk menyingkirkan si anak sok lugu itu. Semoga rencanaku berhasil dan berjalan mulus.”
Siang harinya, seperti yang disuruh Shinta, Khumairah menjalankan tugasnya, mengepel, mencuci piring, dan lainnya. Semua ia kerjakan secara sabar dan dengan hati sekuat baja. Tanpa sengaja, Trian melihat rasa letih Khumairah yang mencuci piring begitu banyaknya, perasaannya? Pastinya tak akan tega melihat kakak tirinya diperbuat seperti itu.
“Ya ampun, kasihan kak Khumairah, rela banget nyuci segitu banyak. Ya Allah, berilah kak Khumairah kekuatan!”
Suatu ketika, Shinta dengan santainya menonton TV dan membaca majalah yang dimiliki suaminya. Dan Khumairah membawa kopi seperti yang Shinta suruh, baru diminum, langsung disembur ke arah Khumairah dan berkata kasar dihadapannya.
“Heh, kamu bikin kopi kayak gimana sih? Bikin ginian aja enggak becus. BEGO banget sih kamu! Astaga Naga ya Tuhan!!”
“Maaf, Ma. Khumairah minta maaf.”
“Sebagai hukumannya, kamu harus menempati tempat yang pantas buat bocah BEGO dan DUNGU seperti kamu, gudang!”
Rasa amarah Shinta sudah kelewatan, berani sekali ia bicara kasar dan tak pantas bila didengar oleh orang awam, dikurunglah Khumairah di gudang yang pengap dan panas. Shinta mengunci pintu gudang itu dengan amarah yang meletup-letup.
“Ma, buka pintunya!”
“Heh, malam ini, kamu tidur di gudang. Jangan harap kamu bisa coba-coba kabur dari gudang ini, kalo berani kabur. Mama akan penggal kepala kamu di gudang ini! Ngerti kamu!!”
“Ya Allah, berilah aku kekuatan dan ketabahan untuk hadapi semua cobaan ini. Dan berikanlah Hidayah untuk Mama, Ya Allah, Amin Ya Robbal Alamiin..”
Tak lama setelahnya, tangan Shinta terjepit pintu saat mengunci Khumarah di gudang, rasa sakit yang luar biasa membuat Shinta merintih dan menjerit dengan kerasnya.
Auww,, sakit!
Keesokan harinya, rasa sakitnya berlanjut ketika luka tangannya Shinta sudah bernanah dan membusuk sehingga menimbulkan bau yang tak karuan. Sudah dicek ke dokter, namun saran dokter yang memeriksakannya menganjurkan dirinya harus mengamputasi tangannya itu.
Jelas saja, reaksi Shinta kaget bukan kepalang, belum lagi Dian dan Trian yang menangis manakala ibunya harus merelakan tangannya hilang diamputasi. Amarah Shinta kembali memuncak ketika ia berusaha membunuh Khumarah dengan sebilah pisau dapur. Ia mengira bahwa Khumairah senang melihatnya penuh luka tangan yang sudah busuk.
“Heh, anak SOK ALIM! Kamu seneng liat saya kayak gini? HAH?”
Khumairah tak mengerti apa yang diucap Shinta sehingga berbuat senekat itu ingin membunuhnya.
“Masya Allah, apa maksud Mama?”
“Halah, udah enggak usah sok alim deh kamu! Kamu seneng kan tangan saya diamputasi? Ayo ngaku!”
“Ya Allah, Ma. aku enggak kayak gitu. Demi Allah Demi Rosululloh.”
“Dasar kamu anak TERKUTUK!”
Belum berusaha membunuh Khumarah, lampu yang berada diatasnya roboh dan menimpa kepalanya dan langsung merenggang nyawa di gudang itu.
Ahhhhhhhhh….!
“Mama, Mama!”
“Ma, bangun, Ma! mama bangun!”
“Dian, Trian, Mama harus pamit dari dunia ini. Dan Mama juga ingin minta maaf sama Khumairah, karena mama sudah kejam sama dia. Assh hadu anlaa ilahaa I lallah, wa assh hadu an na muham maddar roo su lullah…………………..”
Akhirnya, buah kesabaran Khumairah untuk menghadapi kekejaman Shinta terbayar sudah dengan balasan yang harus ia terima dengan cara yang tragis. Dan setelah kejadian itu, Dian dan Trian dikembalikan ke mantan suaminya Shinta dan Khumairah bahagia dengan Fajar, ayahnya meski tanpa sang ibu.



Pesan yang diambil dari kejadian ini: “Janganlah berbuat kejam dengan anakmu sendiri, karena sesungguhnya Tuhan akan selalu melihat sikap dan gerak-gerik kita. Dan Tuhan akan memberi ganjaran pada siapapun yang menghardik anak piatu…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar