Khumairah, sosok anak kecil berusia
delapan tahun, cantik, lugu dan pintar. Akan tetapi ia harus menelan segala
kejadian pahit, sang ibu yang sangat disayanginya, pergi untuk selamanya.
Ayahnya, sudah mencari tambatan hati yang baru menggantikan posisi istrinya
yang sudah meninggal, namanya adalah Shinta, ibu dua anak, Dian dan Trian,
mereka menikah dan menempati rumah baru, namun gelagat licik ditunjukkan Shinta
untuk menguasai harta suaminya itu.
“Sebentar lagi, rumah dan seluruh isinya
akan jadi milikku. Aku tinggal tunggu waktu aja untuk miliki semuanya.”
Suaminya menunjukkan seluruh isi rumahnya
itu, tapi tidak bagi Khumairah, ia punya firasat yang kurang mengenakkan saat
mereka memasuki rumah mereka dan menjadi anggota baru keluarganya. Dian dan
Trian, kedua adik tiri mereka, merasa senang menempatinya dan memilih kamar
yang cocok buat mereka, tapi dengan gelagat sombong, mereka menyikut Khumairah
yang ada didepannya.
“Dek, asik ya kita punya tempat tinggal
baru. Ayo liat kamar yang cocok buat kita.”
Fajar, ayah Khumairah, akan pergi ke
Belanda untuk soal bisnis, ia berpesan
pada Shinta agar menjaga dirinya dan anak-anak selama ia pergi. Kesempatan
inilah yang diperbuat Shinta untuk memperbudak Khumairah agar bisa menguasai
harta dan isi rumah Fajar tanpa sepengetahuannya.
“Shinta, tolong jaga anak-anak ya. Selama
aku pergi, jaga dirimu baik-baik dan jaga juga anak-anak.”
“Iya, Mas. Aku pasti bakal jaga anak-anak
kok.”
Di benaknya, Shinta punya rencana yang
sangat bagus dan menurutnya sangat stimulus untuk memuluskan rencananya itu.
“Bagus, sekarang mas Fajar pergi, dan aku
bisa perbudak anaknya. Dan tinggal tunggu waktu aja, aku bakal bisa kuasai
rumah ini dan menyingkirkan Khumairah dari dunia ini. Hahahahahahaha…”
Pembantu andalan keluarga Khumairah
diusir oleh Shinta, ia menganggap kerjanya tidak becus dan terlalu payah. Dan
ia memberi uang pesangon senilai tiga juta rupiah sebelum pergi meninggalkan
rumah itu.
“Nih, uang pesangon kamu. Uang sebesar
tiga juta rupiah buat Bibi!”
“Apa ini, Nyonya?”
“Bi, mulai sekarang Bibi enggak boleh
kerja disini lagi, karena Bibi tuh enggak becus, payah dan lemot kerjaannya.
Jadi, silahkan pergi dari sini.. sana pergi!!”
Khumairah sudah merasa curiga, sebenarnya
mengapa Bibi pergi dari rumah tanpa pemberitahuan ayahnya. Tapi, semua
terlambat, Shinta sudah menghandle
semuanya dan tak ada rasa curiga sedikitpun dengan memberi kabar pada Fajar
lewat sambungan telepon. Gelagat liciknya masih ditunjukkan olehnya.
“Halo, Mas, kayaknya Bibi udah enggak
kerja di rumah kita lagi deh.”
“Lho, emang kenapa?”
“Katanya ia mau ngerawat anaknya yang
sakit keras, Mas. Dan aku dah kasih uang untuk biaya rumah sakit anaknya.”
“Oh ya udah, tapi kamu bisa urus
pekerjaan rumah tangga kan?”
Shinta gugup, ia tak menjawab perkataan
Fajar, lalu diteruskan dengan cara yang paling licik dan rasa munafik yang
tinggi.
“Biar aku aja deh yang cariin pembantu.
Kan gitu-gitu biar bisa bantuin rumah kita.”
“Ya udah, jaga dirimu baik-baik ya. Aku
tutup dulu, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Mas.”
Keesokan harinya, Shinta sudah siap
dengan planning yang ia buat, ia
membangunkan Khumairah dengan menyiram wajahnya di kamar tidurnya. Dengan
kejamnya, ia mulai memperbudak Khumairah yang masih setengah mengantuk.
“Heh, bangun! Udah siang, cepet siapin
sarapan buat kami!”
“Iya, Ma. Nanti aku siapin buat kalian.”
“Oh ya satu lagi, mulai sekarang kamu
yang akan menjadi pembantu di rumah ini. Mulai dari ngepel, nyuci, masak,
apapun, kamu harus kerjain semuanya. Dan ingat, jangan pernah katakana semuanya
pada siapapun! Ngerti kamu!!!”
Sepertinya rencana Shinta untuk semuanya
sudah berhasil, memperbudak Khumairah dengan seenaknya tanpa melihat kepolosan
dan fisiknya yang masih kecil. Belum lagi, ia belum merencanakan bagaimana
caranya agar bisa menyingkirkan Khumairah dari dunia ini.
“Hahahahahaha… bagus, bagus. Rencana
pertama berhasil, sekarang tinggal susun rencana untuk menyingkirkan si anak
sok lugu itu. Semoga rencanaku berhasil dan berjalan mulus.”
Siang harinya, seperti yang disuruh
Shinta, Khumairah menjalankan tugasnya, mengepel, mencuci piring, dan lainnya.
Semua ia kerjakan secara sabar dan dengan hati sekuat baja. Tanpa sengaja,
Trian melihat rasa letih Khumairah yang mencuci piring begitu banyaknya,
perasaannya? Pastinya tak akan tega melihat kakak tirinya diperbuat seperti
itu.
“Ya ampun, kasihan kak Khumairah, rela
banget nyuci segitu banyak. Ya Allah, berilah kak Khumairah kekuatan!”
Suatu ketika, Shinta dengan santainya
menonton TV dan membaca majalah yang dimiliki suaminya. Dan Khumairah membawa
kopi seperti yang Shinta suruh, baru diminum, langsung disembur ke arah
Khumairah dan berkata kasar dihadapannya.
“Heh, kamu bikin kopi kayak gimana sih?
Bikin ginian aja enggak becus. BEGO
banget sih kamu! Astaga Naga ya Tuhan!!”
“Maaf, Ma. Khumairah minta maaf.”
“Sebagai hukumannya, kamu harus menempati
tempat yang pantas buat bocah BEGO
dan DUNGU seperti kamu,
gudang!”
Rasa amarah Shinta sudah kelewatan,
berani sekali ia bicara kasar dan tak pantas bila didengar oleh orang awam,
dikurunglah Khumairah di gudang yang pengap dan panas. Shinta mengunci pintu
gudang itu dengan amarah yang meletup-letup.
“Ma, buka pintunya!”
“Heh, malam ini, kamu tidur di gudang.
Jangan harap kamu bisa coba-coba kabur dari gudang ini, kalo berani kabur. Mama
akan penggal kepala kamu di gudang ini! Ngerti kamu!!”
“Ya Allah, berilah aku kekuatan dan
ketabahan untuk hadapi semua cobaan ini. Dan berikanlah Hidayah untuk Mama, Ya
Allah, Amin Ya Robbal Alamiin..”
Tak lama setelahnya, tangan Shinta
terjepit pintu saat mengunci Khumarah di gudang, rasa sakit yang luar biasa
membuat Shinta merintih dan menjerit dengan kerasnya.
Auww,,
sakit!
Keesokan harinya, rasa sakitnya berlanjut ketika luka
tangannya Shinta sudah bernanah dan membusuk sehingga menimbulkan bau yang tak
karuan. Sudah dicek ke dokter, namun saran dokter yang memeriksakannya menganjurkan
dirinya harus mengamputasi tangannya itu.
Jelas saja, reaksi Shinta kaget bukan
kepalang, belum lagi Dian dan Trian yang menangis manakala ibunya harus
merelakan tangannya hilang diamputasi. Amarah Shinta kembali memuncak ketika ia
berusaha membunuh Khumarah dengan sebilah pisau dapur. Ia mengira bahwa
Khumairah senang melihatnya penuh luka tangan yang sudah busuk.
“Heh, anak SOK ALIM! Kamu seneng liat saya kayak gini? HAH?”
Khumairah tak mengerti apa yang diucap
Shinta sehingga berbuat senekat itu ingin membunuhnya.
“Masya Allah, apa maksud Mama?”
“Halah, udah enggak usah sok alim deh
kamu! Kamu seneng kan tangan saya diamputasi? Ayo ngaku!”
“Ya Allah, Ma. aku enggak kayak gitu.
Demi Allah Demi Rosululloh.”
“Dasar kamu anak TERKUTUK!”
Belum berusaha membunuh Khumarah, lampu
yang berada diatasnya roboh dan menimpa kepalanya dan langsung merenggang nyawa
di gudang itu.
Ahhhhhhhhh….!
“Mama, Mama!”
“Ma, bangun, Ma! mama bangun!”
“Dian, Trian, Mama harus pamit dari dunia
ini. Dan Mama juga ingin minta maaf sama Khumairah, karena mama sudah kejam
sama dia. Assh hadu anlaa ilahaa I lallah, wa assh hadu an na muham maddar roo su lullah…………………..”
Akhirnya, buah kesabaran Khumairah untuk
menghadapi kekejaman Shinta terbayar sudah dengan balasan yang harus ia terima dengan cara yang tragis.
Dan setelah kejadian itu, Dian dan Trian dikembalikan ke mantan suaminya Shinta
dan Khumairah bahagia dengan Fajar, ayahnya meski tanpa sang ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar