Lembaran
1
Di suatu flat di pinggiran kota Jakarta, terdapat perkumpulan para
pria yang membentuk komunitas yang sungguh tak biasa, mereka menamakan
perkumpulan ini adalah GiDeKiNo, mereka terdiri dari Gilang, Devin, Yuki, dan Vanno,
bersekolah di sekolah yang sama, dan hobi mereka sama pula, yaitu futsal tiap
tiga kali sepekan. Perkumpulan tersebut nongkrong di flat-nya Gilang hari Jumat
minggu ke 2 pukul 3 petang.
Mereka bicara banyak hal, salah satu yang masih jadi bahan
pembicaraan adalah soal jodoh. Sebenarnya bukan jadi topik utama, lalu mengapa
mereka bicarakan yang itu? Saat ini, empat sekawan itu memang belum dapat jodoh
atau pacar yang pas. Perdebatan dan adu argumen mewarnai tiap pembahasan perkumpulan
ini.
Suatu ketika, di petang hari pada Jumat pekan ke-2 bulan Februari,
mereka kali ini membahas tentang strategi jitu untuk mendapatkan atau
meluluhkan hati perempuan. Dan kali ini, Yuki, menjelaskan materi ini.
“Guys, hari ini gue mau bahas tentang strategi paling jitu
dapetin cewek, pertama, kita sebagai cowok, harus bisa memberikan kata-kata
maut, ya minimal kata-kata romantis lah. Setelahnya, kalo berhasil, salah
satunya harus wajib ajak dia nge-date. Tujuannya biar diantara keduanya saling
memahami karakter masing-masing. Elo-elo semua pada ngerti nggak nih?”
Gilang yang tak paham konsep itu, mengacungkan tangan dan berkata
dengan sejujur-jujurnya, “Gue nggak
paham, Vin. Gue kan selama ini susah pake kata-kata begituan. Secara gue ‘kan
bukan anak sastra,”
Devin berkilah, “Setuju apa kata lu, Gilang, gue nggak paham sama
sekali. Strategi yang itu mah udah basi, apa nggak ada yang lain ya?”
“Maksudnya apa nih? jangan bilang elo semua pada nggak suka sama
pembahasan ini?” tanya Yuki, kesal.
“Ya mau gimana, kalo konsepnya itu enggak pake peragaan, ‘kan kita
bingung, Kakak!” seru Vanno.
“Udah deh, kalian! Gini deh, diantara kalian bertiga, siapa yang
udah ngerti?” tanya Yuki.
Tidak ada yang mengacungkan tangan pertanda bahwa ia mengerti
konsep itu. Entah mengerti atau tidak. Inilah yang membuat Yuki kesal.
“Tuh, masa ada yang nggak paham sih?”
Tiba-tiba, ada seseorang mengetuk pintu flat-nya Gilang. “Assalamualaikum.
Kak Gilang.”
Segeralah Yuki membukakan pintu. “Waalaikumsalam, siapa ya?”
“Saya tetangganya Kak Gilang, saya Annisa. Maaf, Kak. Katanya Kak
Gilang kemarin pinjem sepatu futsal kakak saya, saya kesini mau tanyakan lagi
masih dipake atau nggak. Soalnya mau dipake kakak saya sparing sama
teman-temannya. Kak Gilang-nya ada?”
“Bentar ya, ntar gue panggilin,” ujar Yuki.
Tak lama kemudian, Gilang datang dan membawa sepatu futsal untuk
diberikan pada Annisa. “Maaf, ya, Annisa, lama nungguin ya?”
“Nggak kok, Kak,” jawab Annisa.
“Ini sepatunya. Makasih ya. Kakakmu mana, Annisa?” tanya Gilang.
“Lagi siap-siap berangkat futsal bareng teman-temannya. Ada tanding
sama .. sama siapa ya timnya? Waduh lupa kayaknya,”
“Oh ya, Annisa, bilangin kakak kamu ya, soalnya tanggal 27, aku
sama teman-teman disini mau adu tanding. Tolong sampaikan ya,”
“Iya, Kak, nanti aku sampaikan. Maaf ya udah ganggu kalian
berdiskusi, aku pamit, Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
Setelah melihat Annisa, Gilang nampak berseri-seri. Hal inilah yang
membuat Devin terperangah melihat wajah Gilang nampak memerah bak bertemu
aktris papan atas. “Lo kenapa, Gilang?”
“Lo kenapa sih? Kayaknya setelah ketemu tetangga lo, muka lo
sekejap memerah. Ada apa nih sama diri lo?” rentet Yuki.
“Nggak merah, ah, apaan sih lu, Yuki. Emang gue segenit itu apa?”
timpal Gilang.
“Baru kali ini gue liat temen sendiri kegenitan sama cewek!” seru
Devin, meledek.
“Ya kali aja lo suka sama tetangga lo sendiri .. hihihi ..” ledek Vanno.
“Vanno. Awas lo ya! Jangan sampe buku ini melayang nih! Aaarrrgggghhhh!”
“Hahahahaha ...”
Obrolan itu seketika berhenti dengan tawa canda mereka karena
ledekkan Rosevanno untuk Gilang.
Lembaran
2
Keesokan harinya, tepatnya di hari Sabtu minggu ke-2 bulan
Februari. Gilang bergegas menuju sebuah rumah susun yang tak jauh dari
flat-nya. Ia terburu-buru lantaran ia harus membantu Yuki mengerjakan tugas
bahasa Inggris. Saking cepatnya, ia tak sadar dengan orang yang lalu lalang di
hadapannya. Maklum saja, flat-nya berdekatan persis dengan pasar, jadi kalau
mau berjalan-jalan harus “permisi-permisi” dengan pengunjung pasar yang kadang
penuh sesak.
Namun, dalam perjalanan menuju tempat Yuki, tak sengaja ia menabrak
Annisa yang tengah membawa sayuran dan beberapa buah tomat.
“Annisa, aku minta maaf ya, sini aku bantuin beresin,” kata Gilang.
“Aduh, Kak, hati-hati dong kalo jalan, lihat sekitarnya lah. Udah
tau ada orang-orang yang lalu lalang disini,” seru Annisa, kesal.
Disaat mereka saling membereskan, tak sengaja, tangan Gilang
memegang tangan Annisa. Mereka saling menatap. Lalu, Gilang tersadar akan
tugasnya itu.
“Oh, maaf ya, Anissa, aku harus pergi. Sekali lagi aku minta maaf,”
kata Gilang.
“Kak .. lain kali hati-hati ya kalo jalan,” seru Annisa.
Di perjalanan, Gilang tersenyum sendiri melihat wajah cantik Annisa
dan membayangkan kejadian yang membuatnya menatap Annisa terlalu lama. Entah
karena rasa suka itu ada, Gilang masih senyam-senyum sendiri.
“Astagfirulloh, Nisa cantik banget. Ah nggak mungkin kalo dia suka
sama gue, secara gue ‘kan tetangganya. Nggak bakalan mungkin gue suka sama
dia!”
Sesampainya di tempat tujuan, Gilang sampai di rumah Yuki dengan
perasaan yang amat ‘berantakan’, antara tersipu dan kagum. Ini membuat Yuki keheranan,
begitu pula dengan Vanno dan Devin yang semakin heran membaca gelagat Gilang.
“Gilang, lo kenapa senyam-senyum gitu sih dari kemaren?”
“Iya, lo kayaknya beneran suka sama tetangga lo itu? Iya ‘kan?”
“Pertanyaan elo-elo semua emang basi!” seru Gilang.
“HAH?” seru Vanno dan Devin.
“Apa maksud lu ngomong gitu? Hah? Kita disini nungguin lu sampe dua
puluh menit.” timpal Yuki.
“Gue ngomong gitu, karena pertanyaan yang lo ajukan udah umum!”
tukas Gilang.
“Wah .. parah nih anak! Mulutnya nggak diayak, pengen gue beri
nih!” ancam Vanno.
“Iya deh, ampuni gue. tapi lo jangan berniat apa-apain gue!” jawab
Gilang, memohon.
“Haha .. gue suka temen yang memohon .. Nggak sampe gitu, ah, ya
udah kita maafin atas keterlambatan lo dalam tugas kelompok ini. Sekarang kita
mulai aja, udah agak siang nih!” keluh Yuki.
Akhirnya, mereka dapat mengatasi konflik tersebut dengan tenang.
Dan mereka berlanjut pada tugas bahasa Inggris yang dikasih oleh guru bidang
studi yang bersangkutan. Sejenak Gilang melupakan kejadian di pasar tadi, ia
tak mau nantinya tiga temannya bakal curiga hanya karena satu nama. Annisa.
Jakarta nampak mendung malam itu, tanpa sengaja, Vanno bertemu
dengan Annisa yang tengah pulang dari masjid usai ibadah sholat Isya. Mereka
saling berkenalan, dan perbincangan pun terjadi.
“Assalamualaikum, Annisa,” sapa Vanno.
“Waalaikumussalam warrohmatulloh, maaf sebelumnya, kamu temennya
Kak Gilang ‘kan?” tanya Annisa.
“Iya, kenalin, gue Rizky Rosevanno, biasanya temen se-geng gue
panggilnya Vanno.”
“Saya Annisa Fabrianna. Oh kamu yang sering ngumpul di rumahnya Kak
Gilang tiap hari Jumat?”
“Kok lo tau perkumpulan kami?”
“Saya denger dari tetangga yang lain, kalo tiap jumat pekan ke
berapa gitu saya lupa, sering ngumpul-ngumpul gitu bahas yang populer. Bener
nih apa yang saya maksud?”
“Iya,” jawab Vanno singkat.
Annisa merogoh saku gamisnya, “Hmm, gitu toh. Hehehe ... Oh ya,
Vanno, saya mau nitip sesuatu sama kamu,”
“Nitip apa?” tanya Vanno.
“Tolong kasih ke Kak Gilang, ini uang buat pendaftaran tanding di
Mahardika Futsal tanggal 27, soalnya kakak saya dan timnya mau main bareng
kalian, lumayan uangnya buat main berjam-jam,” jelas Annisa tersenyum.
“Oh ya, makasih ya, Annisa. Tumben kakak lo inget sama yang
beginian,” ujar Vanno, sumringah.
“Hehehe ... mungkin teringat apa yang direncanakannya,” Annisa
hanya bisa tertawa kecil.
“Annisa, gue pamit dulu mau ngasih duitnya ke Gilang. Sekalian mau
bicarain jadi sparing atau nggak. Sekali lagi makasih ya, Nis,”
“Afwan1,”
“Apa artinya?”
“Sama-sama, Vanno. Hihihi ...”
Vanno hanya bisa tersenyum melihat kecantikan Annisa yang baru ia
temui. Kagum dan rasa menyukai, itu yang dirasakannya saat ini. Sedari tadi
wajahnya nampak berseri-seri. Sama halnya dengan Gilang dua hari ke belakang.
Ada rasa di antara mereka berdua terhadap satu nama. Annisa? Entahlah ...
Lembaran
3
Sore itu, di flat Gilang, empat sekawan berkumpul lagi. Seperti
biasa, pembahasan yang paling populer dalam komunitas GiDeKiNo. Biasanya mereka
kumpul di hari Jumat, tapi diubah lantaran banyak kesibukan dari mereka.
Pembahasan kali ini seputar masalah kegantengan dari diri mereka. Kali ini,
Devin yang memulai diskusi jenaka tersebut.
“Guys, nggak terasa udah pekan terakhir bulan Maret. Hari
ini, gue mau bahas tentang kegantengan diri masing-masing. Nah, ‘kan selama ini
cowok kayak kita nih, cuek banget sama penampilan bahkan diri sendiri. Ehem!
Gue mau tanya sama lo-lo semua yang ada disini. Siapa yang hari ini merasa
ganteng?”
Hanya Gilang saja yang melambaikan tangannya bahwa ia merasa
tampan. Sementara yang lain hanya mengacungkan jempol saja yang jadi modal.
“Eh, Vanno, lo nggak ganteng hari ini?” tanya Devin.
“Gue belum cukur rambut, makanya nggak ganteng,” jawab Vanno
diikuti dengan sorakkan Gilang dan Yuki.
“Kalo Yuki gimana?” tanya Devin lagi.
“Tahi lalat gue belom dioperasi nih. minder gue jadinya!” jawab
Yuki, kocak.
“Heeuuuhh, Yuki!” teriak Vanno dan Gilang.
Tiba-tiba, Annisa datang membawa tiga rantang, beberapa lembar daun
pisang dan satu bakul nasi. Ia sengaja membuatkan makan siang untuk mereka
karena hari libur. Selama ini, Annisa jarang sekali memasak di rumah. Selalu
membantu ibunya masak-masakkan catering.
“Assalamualaikum, Kak Gilang and friends?,” sapa Annisa.
“Waalaikumussalam. Eh, Neng Annisa. Masuk, masuk,” jawab Devin dan
Yuki.
“Teman-teman yang sangat ganteng dan cakep, hari ini saya bawakan
makan siang untuk kalian. Ada ayam goreng, sayur lodeh, sama lalapan sayur. Oh
ya, silahkan dimakan ya, semuanya,”
“Sebelumnya, kita mau kenalan dulu nih sama kamu, aku Muhammad
Devin dan ini Yuki Pradana. Salam kenal,” perkenalan mereka dibalas senyum oleh
Annisa.
“Kamu enggak makan, Nis?” tanya Gilang.
“Nggak kok, Kak. Saya mau bantuin lagi Ibu masak catering, udah
kalian makan aja.” jawab Annisa.
“Jangan panggil Kakak dong, Nis. ‘kan kita seumuran, manggilnya
Gilang aja ya,”
“Annisa, makan aja bareng kita, ‘kan kamu bawa satu bakul nasi.
Makan bareng-bareng aja sama kita. Daripada bolak-balik kesini, iya ‘kan?” ajak
Vanno.
“Hmm, ya udah deh,” ujar Annisa.
Mereka makan bersama, keakraban dan kehangatan mewarnai agenda
makan siang ‘dadakan’ di flat Gilang. Sedari tadi Vanno masih memperhatikan
Annisa yang tengah bercakap-cakap dengan Yuki dan Devin. Ia memandangi terus
dengan membayangkan dirinya dan Annisa bersanding. Namun, ia tak egois, ia tahu
bahwa ada satu orang yang terang-terangan menyukai Annisa. Gilang. Ia tak
berani bermimpi sejauh itu.
“Eh, Vanno, kok lo bengong gitu, abisin tuh makanan lo,” tegur
Gilang.
“Oh ya, maaf, Gilang. Gue lagi ngelamunin sesuatu,” kata Vanno.
“Ngelamunin apaan sih, Vanno? Pasti lagi mikirin duit buat tanding
tanggal 27? Ada kok!” jawab Gilang.
“Oh, ya udah deh gue lega banget,” gumam Vanno.
Mereka melanjutkan makan-makan hingga terasa kenyang yang akan
dirasakan.
Lembaran
4
Hari sabtu, sebagian orang tengah berlibur guna mengusir kejenuhan
selama lima hari beraktivitas. Begitu pun dengan Gilang dan tiga temannya,
mereka menikmatinya dengan bermain futsal bersama di Mahardika Futsal di
Kenanga Residence yang tak jauh dari rumah mereka. Kali ini mereka bertanding
dengan Dimas Sukma, kakak Annisa, bersama tim futsal tempatnya bernaung. Adu
sparing dimulai, sekilas permainan sangat sengit karena skor masih kacamata
(0-0). Dan di menit ke 23, Yuki berhasil menjebol gawang tim Dimas Sukma, skor
1-0 bertahan hingga turun minum.
Di luar lapangan futsal, nampak Annisa dan temannya, Farida,
menyaksikan orang yang mereka sayangi bermain bersama. Mendukung agar menang
saat permainan berlangsung. Dengan semangat Annisa berkata, “Kalian bisa,
GiDeKiNo!”
“Annisa, mereka berempat itu singkatannya GiDeKiNo?” tanya Farida.
“Itu singkatan dari Gilang, Devin, Yuki dan Vanno. Mereka sahabatan
kok, Farida,” jawab Annisa.
Permainan usai, skor kedua tim 1-0, masih sama seperti babak
pertama. Namun, semangat kedua tim ini tak surut bahakan saat usai permainan,
mereka ngobrol dengan tim lawan. Keakraban yang terlihat dan bukan permusuhan
yang terjadi. Annisa senang, selain GiDeKiNo bisa akrab dengan kakaknya, Dimas
Sukma dan timnya, permainan ini juga mengajarkan sportivitas dan jujur saat
berlaga. Hatinya berseri-seri bahagia.
“Alhamdulillah, kalian ternyata kompak ya dalam futsal. Salut deh,”
kata Annisa.
“Makasih dukungannya ya, Nis,” jawab Gilang.
“Bakalan sering-sering tanding nih kalo weekend,” sambung
Devin.
Mereka tertawa bahagia atas hari ini yang sangat sportif.
“Oh ya, Gilang. Vanno kemana ya? Kok dari tadi nggak
muncul-muncul?” tanya Annisa.
“Tadi dia pamit mau temenin nyokapnya belanja, dia nggak nitip
apa-apa sama kita,” jawab Gilang.
“Oke, sebagai pesta kemenangan kita dalam adu kali ini, gimana kalo
kita jamming di flat-nya Gilang lagi. Gimana?” ajak Yuki.
“Oke deh, Bos. Sip! Tapi jangan lupa ajak Vanno, entar ngambek kalo
nggak diajak,” seru Devin.
“Annisa, kamu mau ikutan?” tanya Gilang.
“Gimana ya? Aku ‘kan hanya perempuan seorang. Belum lagi aku juga
mau bantuin ibuku masak,” ucap Annisa.
“Aku aja deh yang ijinin ke ibu kamu untuk pesta di flat-ku,”
“Nggak usah, Gilang. Biar aku aja yang ngomong. Kalo dibolehin, aku
ikut. Tapi kalo nggak ya aku cuma nitip makanan aja nanti. Oke,” ujar Annisa.
“Ya udah deh, sekali lagi makasih ya udah mau dateng lihat kita
tanding,”
“Sama-sama, Gilang,”
Vanno sengaja menghindar dari mereka karena ia sudah tahu, Gilang
ternyata menyukai Annisa dari sikap dan kelakuannya padanya selama ini.
Keegoisan belum tertanam pada diri Vanno. Sekali lagi, keegoisannya belum
muncul.
Malam harinya, seperti yang dijanjikan, GiDeKiNo akhirnya pesta
kemenangan di flat-nya Gilang. Acara dimulai jam tujuh hingga sepuluh malam.
Mereka sudah berkumpul, dan menyalakan musik yang mereka suka. Seisi flat
menjadi ramai dan penuh hingar bingar musik yang didendangkan. Sementara Annisa
masih sibuk membuatkan makanan untuk mereka, nampak dapurnya berantakan dan
penuh dengan semua peralatan dapur.
“Annisa, kamu udah buatin mereka kue belum?” tanya ibunda Annisa.
“Bentar lagi, Bu. Bentar lagi selesai,” jawab Annisa.
“Cepetan, Nak. Ibu nggak mau mereka kelaparan saat pesta yang
nyaris bikin riuh seisi flat,” keluh ibunda Annisa.
Annisa hanya menggangguk apa yang dikatakan ibundanya, dan masakan
telah selesai, tinggal dibawa ke flat Gilang. Makanan itu ada dalam tiga
rantang berbeda. Hatinya senang karena ia bangga dengan kekompakkannya, dan
kerjasamanya.
“Assalamualaikum. Gilang,”
“Waalaikumsalam. Annisa? Ayo masuk,” jawab Gilang.
“Ini makan malam kalian, ada kue bolu, biskuit kacang, sama kue
cokelat. Semua murni bikinan saya. Silahkan dimakan sambil nge-jamming
sampai puas,” kata Annisa.
“Makasih ya!” seru Yuki diikuti Vanno dan Devin.
Kembali, keakraban dan
keharmonisan ditunjukkan mereka dalam jamming kali ini. Tapi, ini
berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Gilang. Masih galau. Sedari tadi
masih memandangi Annisa yang nampak menikmati alunan musik yang dimainkan.
‘Kok gue masih mikirin Annisa ya?’ bathinnya berbicara. Hatinya
ngilu dan bergetar. Ini rasa yang harus dirasakan Gilang saat ini. Menyukai dan
mengagumi pada Annisa.
Vanno sebenarnya tahu, Gilang ternyata suka sama Annisa. Tapi, mau
bagaimana lagi, Annisa sudah dekat dengan Gilang sejak lama. Wajar kalau mereka
saling dekat. Rasa cemburu Vanno sudah tertanam, mungkinkah ia bakal
berkompetisi memenangkan hati Annisa? Entahlah, hanya waktu yang menjawab.
Tapi, ia setidaknya tahu diri.
Gilang masih bermimpi. Senyuman dan kecantikan dari diri Annisa tak
bisa ia hilangkan begitu saja. Bahkan ia tak berani untuk mengelak semua
gejolak rasa itu. Mengagumi tapi mesra (MTM)
Lembaran 5
Di suatu pagi yang cerah, Gilang menatap langit Jakarta yang
tersenyum lewat jendela kamarnya, serupa dengan hatinya yang berbinar-binar
setelah menatap Annisa. Menyandarkan kepalanya di dinding kamarnya, ia menatap
langit terus-menerus dan ia berkata,
“Apa mungkin aja gue suka sama Annisa? Atau Annisa suka sama gue?”
Tiba-tiba, Yuki yang melihat Gilang melamun di dekat jendela
kamarnya langsung menepuk pundaknya, “Woy! Lu ngelamunin siapa sih, Gilang?”
Jelas saja Gilang kaget bukan kepalang, “Eh, elu, Yuki. Gue lagi
kagum sama seseorang. Seseorang yang selalu membuat hari-hari gue makin ceria
kalo ada dia,”
“Siapa yang lu maksud? Annisa?” tanya Yuki.
“Yuki! Kok lu tau sih?” seru Gilang.
“Ya gue liat dari tampang lu akhir-akhir ini. Selalu senyum kalo
Annisa kesini buat anterin makanan untuk kita. Lu ada rasa sama dia?” tanya
Yuki curiga.
Bingung Gilang mau menjawab apa, tapi ia menjawab dengan sepatah
kata, “Bisa jadi iya,”
“Hihihi .. bener ‘kan apa yang gue lihat. Lu tuh lagi kasmaran sama
tetangga sendiri. Emang lu sama dia udah kenal berapa lama?” tanya Yuki lagi.
“Dari SD, gue sama dia satu sekolah sampe SMP, gue tuh emang udah
suka sama dia. Tapi nggak dikatakan sejujurnya,” jelas Gilang.
“Apa nggak takut kalo ada pesaing yang mampu jatuhkan hatinya
Annisa?”
“Maksud lu apa tanya kayak gitu, Yuk?” tanya Gilang.
“Yaa .. yang gue tau, bisa aja dari anggota ini yang suka sama dia
selain lu,” jawab Yuki.
“Devin?”
“Bukan.”
“Vanno?”
“Bisa jadi, gue lihat dari kemaren-kemaren dia tuh ‘adem’ banget
kalo mantekin Annisa, serius lho, Gilang, gue nggak bohong.”
Gilang terdiam, kemungkinan untuk mendapatkan hati Annisa terganjal
dengan satu nama. Vanno. Sahabatnya sendiri. Namun, ia tak merasa tersaingi.
Siapapun boleh mengagumi Annisa, begitu menurutnya. Tapi, semua kembali pada
perasaan masing-masing.
Seperti biasa, Annisa membantu ibunya memasak masakan catering yang
berdiri tak jauh dari flat tempat mereka tinggal. Fitri sudah menangkap gelagat
mencurigakan dari diri anaknya.
“Nak, ibu lihat akhir-akhir ini kamu lagi seneng sama seseorang?”
“Bu, jangan ngaco deh, aku ‘kan udah bilang, aku baik-bak aja kok,”
jawab Annisa.
“Nak, ibu boleh nanya sama kamu, tapi jawab yang jujur. Kamu lagi
suka sama Gilang?” tanya Fitri curiga.
Annisa terdiam, tidak menjawab rasa curiga Fitri yang menurutnya
kelewatan.
“Nak, kok kamu diam?”
“Nggak, Bu. ‘kan ibu tau sendiri kalo aku sama Gilang itu temenan
udah lama sejak SD, bahkan ibu udah kenal sama ayah ibunya. Wajar kalo dia ada
sesuatu sama aku. Uupppss!”
“Hayoo, kamu naksir sama Gilang ya? Jujur aja sama ibu,”
Seketika pipi Annisa memerah dan menunduk malu karena ucapannya
yang salah.
“Iya deh, Bu. Aku akui kalo aku suka sama Gilang. Tapi Gilang yang
beneran suka sama aku, Bu,”
Fitri tersenyum, “Ya udah deh, ibu percaya sama kamu, Nak. kalo kamu
memang suka udah utarakan aja sama Ibu,”
Annisa hanya bisa diam dan melempar senyum pada ibunya. Ia tak
percaya bahwa sang ibu berani bicara yang seperti itu. Harinya kali ini hanya
diisi oleh sikap DIAM dan tak meladeni pertanyaan yang merentet dari ibunya.
Lembaran 6
Siang itu, perkumpulan GiDeKiNo sedang libur, tidak ada pembahasan
hangat yang dibicarakan. Gilang yang punya waktu luang untuk belanja di pasar.
Sudah lama ia tak ke pasar yang hanya sejengkal kaki dari flat-nya. Ia membeli
bahan makanan lumayan banyak. Untuk dimakan hari ini dan stok sebulan ke depan.
Uang sebesar seratus lima puluh ribu ternyata cukup untuk belanja sebanyak itu,
dan tak lupa ia juga membelikan snack untuk Devin, Vanno dan Yuki yang nanti
sore akan main lagi ke flat-nya.
“Udah belanja banyak, jadi bakalan aman nih stok makanan selama
sebulan,” kata Gilang sambil tersenyum memandangi beberapa kantong plastik yang
berisikan hasil belanjaan yang dipegangnya. “Jadi nggak perlu ngerepotin Annisa
lagi, kasihan dia buatin makanan mulu tiap hari buat aku,”
Tiba-tiba, dalam perjalanan
pulang, Gilang bertemu dengan Annisa yang juga ingin belanja kebutuhan masak.
“Annisa,”
“Gilang. Tumben kamu belanja sebanyak ini? Lagi banyak duit nih?”
tanya Annisa.
“Iya, kemaren dapet kiriman duit dari ibu aku tiga juta rupiah,
nah, aku ambil sebagian buat belanja kebutuhan bulanan, Nis. Kamu mau belanja
apa?”
“Mau belanja kebutuhan kue. Kebetulan margarin sama ragi lagi
habis, makanya aku mau belanja lagi. Teman-teman kamu kemana? Kok dari pagi
tadi nggak ada suaranya?”
“Nis, nanti sore mereka main ke flat-ku. Kalo pagi hari mereka
nggak kesana,” ujar Gilang tersenyum.
“Ya udah ya aku mau belanja dulu. Hati-hati bawanya ya. Takut jatoh
belanjaan kamu, hihihi ...”
Kali ini, Gilang tersenyum lebar, melihat wajah Annisa yang begitu
mempesonakannya dan bikin kagum baginya. Benar dugaan Yuki selama ini, bahwa
Gilang ternyata suka sama Annisa. Sudah tepat jawabannya.
Sore harinya, GiDeKiNo kembali berkumpul. Tidak membahas yang
sedang ‘panas’ dibicarakan, melainkan ingin membicarakan sesuatu yang
berhubungan dengan Annisa. Bukan apa-apa, tapi ini ada hubungannya dengan Vanno
dan Gilang.
“Guys, gue sengaja kumpulin kalian lagi sore ini, terkait
masalah dua temen kita, Vanno dan Gilang, yang ada di tengah-tengah kita. Yang
dikabarkan tengah menyukai seseorang,” Yuki memulai diskusi.
“Aha! Gue tau, Annisa!” seru Devin.
Vanno berkilah, “Apaan sih, Vin. Jangan ngaco deh,”
“Lu jangan munafik deh, Vanno! Lu sebenernya suka ‘kan sama Annisa?
Aneh, kok lu tambah mencurigakan banget?” tanya Yuki curiga.
Vanno memilih diam, dia pasti merasa: kok Yuki tahu sih orang
yang gue sukain? Padahal gue berambisi untuk saingan sama Gilang!. Ia masih
diam, kagok ingin menjawab dengan apa. Sekali lagi, ia memilih untuk diam. Ia
harus bungkam.
“Woy! Kok nggak dijawab? Kita semua butuh jawaban dari lo nih!”
keluh Yuki.
“Nggak kok, Yuk. Gue hanya kagum aja sama Annisa yang ternyata baik
ngasih kita makanan siang malam tiap hari,” ujar Vanno, tersenyum datar.
“Bener? Cuma kagum doang?” rentet Yuki lagi.
“Iya, Yuki,” angguk Vanno.
Gilang curiga, gelagat Vanno yang menurutnya agak mencurigakan
belum mengatakan sejujurnya tentang rasa sukanya terhadap Annisa. Tapi,
berhubung Vanno adalah sahabatnya, ia tak berani bicara lantang tentang
kecemburuannya itu. Kelakuan Vanno hari itu membuatnya makin curiga dan semakin
curiga. Simfoni hitam tentang kecurigaanya terhadap Vanno makin tumbuh.
‘Kok Vanno nggak jujur soal rasa suka sama Annisa ya? Gue curiga.
Dari tampangnya aja dia nggak bilang yang sebenarnya.’ Bathinnya berbicara
lagi. Ia sadar, ia tak berani berbicara kecurigaannya. Tapi ia harus
menahannya.
“Oh ya, Vanno, gue minta maaf ya udah curigaan sama lo soal
Annisa,”
“Ya udah nggak pa-pa, ‘kan kita sahabatan, jadi wajar kalo curigaan,”
kata Vanno.
“Hahaha .. bisa aja deh lo,” ujar Gilang tertawa.
Akhirnya mereka melanjutkan pembicaraan dengan nyaman kembali.
Meski Vanno berbohong soal rasa suka pada Annisa, tapi Gilang masih memaklumi
bahwa dia perlu untuk belajar mengerti tentang mengagumi dan menyukai seorang
wanita. Ia tak berani mengecapm dirinya yang gampang posesif terhadap
sahabatnya sendiri.
Lembaran 7
Sore semakin menunjukkan tanda-tanda menjelang malam, langit
Jakarta diguyur hujan sedang dan hawa dingin yang menusuk. Annisa merasakannya
seperti kehilangan semangat untuk membantu ibunya memasak seperti biasanya. Ia
lebih memilih untuk menyalakan komputer untuk hilangkan jenuhnya. Ia sengaja
ingin membuka e-mail untuk melihat kotak masuk yang sudah sesak, ada hampir 70
yang masuk. Menunggu internet Wi-Fi rumahnya konek, HP-nya bunyi, menandakan
SMS masuk. Ia lekas membukanya, ternyata yang meng-SMSnya adalah Vanno yang
berisi:
“Assalamualaikum, Nis. Aku ganggu kamu nggak
hari ini?”
Ia menjawab,
“Waalaikumussalam, Vanno. Nggak kok, ada apa?”
Setelah mengirimkan SMSnya yang pertama, HP-nya bunyi lagi,
menandakan balasan dari Vanno,
“Nis, aku boleh jujur nggak sama kamu?
“Soalnya aku tuh suka sama kamu ..”
Ia tak membalas SMS yang merentet itu, ia bingung mau menjawab apa
yang dikatakan Vanno itu. Tapi, ia ingin membalasnya, dengan berisi:
“Kenapa kamu suka sama aku sih, Vanno?”
Vanno membalas,
“Karena aku suka gaya bicara kamu yang santun
dan membuatku terkesima, Nis ..”
Kali ini, Annisa sudah tak mampu lagi membalas SMS Vanno yang
menurutnya bagai menerima bunga nyasar dari penggagum rahasia. Ia sudah tak
kuat. Ia lebih memilih cuek, tak membuka bahkan menyentuh HP-nya lagi.
Disela-sela membuka e-mailnya, ada sebuah surel dari Farida, ia
membuka dan berisi:
Assalamualaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh ..
Annisa,
Apa kabar? Udah beberapa hari ini nggak ketemu kamu aja udah kangen setengah
mampus. Hihihi :p *sorry*.
Oh ya, aku denger dari temen-temen aku di
kampus, katanya kamu lagi direbutin sama Gilang dan Vanno ya? Terus aku mau
nanya juga, kenapa kamu enggak mutusin salah satu dari mereka, Nis? Biar adil,
dan enggak dicap Playgirl nantinya. Kalo kamu keberatan dengan semua tanyaku
ini, nggak dibales juga nggak apa-apa kok, Nis. Aku pengen kamu tuh bisa mutusin
apa yang menjadi pilihan kamu. Antara Gilang atau Vanno? Semua balik lagi ke
imanmu yang kuat. Oke, sayang.
Maaf sebelumnya udah ganggu kamu, tapi ini
semata-mata Cuma ingetin sama kamu untuk bisa adil dalam memilih. Makasih atas
waktunya untuk membaca surel ini.
Wassalamualaikum warrohmatullohi wabarokatuh ..
Ia terkejut, bagaimana dia tahu kalau Annisa sedang ‘diperebutkan’?
mau menangis, salah, mau marah juga salah. Apa reaksinya? Ia memilih untuk tak
membalas e-mail itu dan melanjutkan safari ria di komputernya. Ia membayangkan,
kalau harus memilih satu diantaranya, akan menimbulkan tanya tersendiri di
benaknya: kenapa aku pilih dia?. Demikian tanyanya yang mengiang di
telinganya itu.
Lalu ia membuka e-mail yang kedua, ada subjek KETIKA SEGALA SESUATUNYA
DATANG, berasal dari alamat lia_47@xxx.co.id yang berisi:
Assalamualaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh...
Apa kabar wahai sahabatku diluar sana? Aku
yakin kamu baik-baik saja dan dilindungi Allah SWT. Amin. Bagaimana kabar ibu
dan bapakmu, Annisa? Pasti dalam keadaan sehat walafiat ya. Amin. Aku sengaja
mengirimkan surel ini, semata untuk mengusir rasa kangenku yang sudah
berlarut-larut selama sebulan libur kuliah.
Aku
ingin bicara tentang judul subjek ini. Ketika mempunyai tambatan hati yang
didasari oleh rasa cinta, pasti semua bakalan senang. Tapi, bila segala yang
sesuatunya datang dari sesorang yang baru kenal atau sudah kenal dengan orang
sekitarmu, pasti dalam benakmu ada rasa, ada cinta dan ada sesuatu yang
membuatmu bimbang memilih semuanya. Kamu sudah punya kekasih belum, Nis? Setahu
aku, kalau seseorang mempunyai kekasih yang awalnya sahabatan, pasti suatu saat
akan menemukan kebahagiaan yang hakiki. Tergantung dari iman dan ketaakwaan
kamu. Aku mau tanya sama kamu, benar kamu lagi kasmaran sama sahabat sendiri?
Kalau kamu keberatan menjawab pertanyaanku atau
merahasiakannya, tidak usah dibalas atau abaikan saja juga tak apa-apa. Selama
kamu merasa ini adalah jawaban dari sesuatu yang datang dari hati dan diri
sendiri untuk dapat adil. Terimakasih atas waktunya.
Wassalamualaikum warrohmatullohi wabarokatuh.
Sekilas wajah Annisa datar melihat isi surel itu, namun kiriman itu
ada benarnya.
“Mungkin e-mail dari Lia bener juga ya, aku harus bisa menentukan
sikap bila itu bisa dilakukan,” ucapnya dalam hati.
Dua jam, bersafari ria dengan koneksi internet di rumahnya, ia
langsung mematikan komputernya dan segera melaksanakan sholat Maghrib, dan
setelahnya langsung menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Fitri, sang ibunda.
Selama menyantap makanan, Fitri terus memandang perilaku aneh anaknya itu.
“Kamu kenapa, Nak? kok wajahmu datar gitu?”
“Nggak pa-pa kok, Bu. Hanya lagi boring aja abis buka e-mail
tadi. Isinya curahan hati temanku semua, Bu,” kata Annisa.
“Perasaan ibu lihat sejak kemarin, wajahmu gelisah mulu, kamu
kenapa? Ayo jujur sama ibu,” tanya Fitri.
“Nggak pa-pa, Bu. Hanya itu yang dirasa sekarang,”
“Ooh gitu, ya udah jangan galau terus, nggak enak dipandangnya ..
hihihi ..”
Mereka berpelukan, dan melupakan apa yang di galau-kan Annisa dan
melanjutkan makan malam hingga kenyang melanda. Ia bimbang. Jawaban seperti apa
yang nanti dihasilkan oleh sang Illahi. Entahlah.
Lembaran 8
Libur kuliah usai, rutinitas mahasiswa kembali dijalankan.
Aktifitas kembali jalan dan cuaca pagi itu nampak berawan. Annisa nampak tak
semangat menjalani kuliahnya kali ini, merasa tak berenergi setelah teror demi
teror tentang rasa adil menerpanya kemarin. Ia bingung, mana yang harus ia
pilih. Bertemankan buku-buku Tafsir Islam, ia membaca lembar demi lembar buku
itu dengan raut muka datar dan gelisah.
Tidak sengaja, Yuki bertemu Annisa yang tengah asyik membaca buku,
“Annisa,”
“Yuki?”
“Kamu ngapain disini, Nis?”
“Saya lagi tenangin diri dulu sebentar dengan baca buku, kamu baru
dateng?”
“Nggak, baru dari perpustakaan abis ngobrol sama Vanno,”
“Ngobrol sama Vanno, ngapain aja, Yuki?” tanya Annisa sambil
pura-pura tidak melihat Yuki.
“Dia bicara soal SMS-nya yang ia kirim ke seorang wanita, seorang
wanita yang mampu membuat dia jadi terkesima,” jawab Yuki dengan bahasa
berteka-teki.
“Maksud kamu? Saya?”
“Mungkin aja, karena dari beberapa minggu ini, Vanno selalu mikirin
kamu terus,” kata Yuki ketus.
Perkataan inilah yang membuat hati Annisa semakin ‘panas’, “Yuki,
tolong kamu bilang sama dia, saya belum tentu bisa mengambil keputusan untuk
menerima dia sebagai tambatan hati saya,” gumam Annisa. “Karena pesan demi pesan kemarin seperti
teror cinta yang datang bertubi-tubi. Saya belum bisa ambil semua ini,” ucapnya
yang seketika berubah menjadi emosi.
“Jikalau perlu, kamu bilang aja sama dia, jangan pernah titip
perkataan itu kepadaku, karena aku bukan perantara,” timpal Yuki.
Saking kesalnya, Annisa pergi meninggalkan Yuki yang sudah
membuatnya tersulut emosinya. Sampai saat itu, Yuki tak paham apa yang menjadi
faktor Vanno menyukai Annisa, meski ada yang menyukainya juga. Gilang.
“Apa maksudnya nih? Gue nggak paham sama sekali soal ini,” ucap
Yuki sambil menggelengkan kepala.
Saat di kelas, Annisa masih mencoba menahan tangisnya tadi. Ia tak
paham dengan apa yang dikatakan Yuki tadi. Serasa tangisnya mau pecah. Dan
teman sebangkunya, Lia, berusaha menghiburnya.
“Udahlah, Nis. Nggak usah ditangisin, emang tuh Yuki kayak nggak
terima temennya suka sama kamu,”
“Apa maksud kamu, Lia? Aku nggak ngerti,” ucap Annisa.
“Gini, dari beberapa hari lalu Yuki sebenernya dari awalnya welcome
sama kamu, eh jadi malah nggak suka sama kamu. Cuma karena Vanno berusaha
deketin kamu. ‘kan kamu tahu sendiri si Yuki gimana kalo marah, kayak raja
ngamuk nggak dikasih makan satu tahun!”
“Lia, kamu kemaren yang kirim e-mail ke aku ya?”
“Bukan kemaren, itu tiga hari lalu, itu sih aku cuma kasih solusi
aja soal cinta segitiga ini, semoga bisa jadi referensi,”
Annisa memeluk Lia, dengan tangis tertahan, “Lia, kamu kok tahu
soal ini sih? Dari mana kamu tahu?”
Lagi-lagi Lia berusaha menenangkan, “Aku tahu ini semua berawal
dari Devin, dia cerita semuanya, bahkan untuk ngomongin ini ke kamu aja aku
nggak berani, aku nggak enak sama kamu, Nis, udah jangan nangis lagi ya,”
“Makasih, Lia.”
“Sama-sama, Nis. Tenangin diri kamu ya,”
Sore itu, Vanno memutuskan membicarakan soal pesan singkatnya yang
dikirimnya ke Annisa. Membicarakan yang sebenarnya mengapa ia begitu kasmaran
dengan Annisa. Namun, kedatangannya justru membuat Fitri makin tidak welcome
terhadap Vanno.
“Assalamualaikum. Annisa?”
“Waalaikumsalam, kamu Vanno ‘kan?”
“Iya, Tante. Saya pengen ketemu sama Annisa. Ada orangnya?”
“Tolong jangan cari-cari dia lagi ya, dia udah nggak suka sama
kamu. Sekarang dia mau tenangin diri dulu. Jangan diganggu. Terima kasih,
silahkan kemari kapan-kapan.” ucap Fitri sambil menutup pintu rumahnya.
Vanno terheran-heran. Mengapa Annisa bersembunyi begitu cepat pasca
SMS yang dikirimnya yang lalu. Apa mungkin menurutnya SMS itu bagai teror
kasmaran yang membuat Annisa makin menutup diri? Dan sejak saat itu, ia
memutuskan untuk tak berani menginjakkan kaki lagi di rumah Annisa. Pasca
kejadian itu. Entah.
Malam harinya, Yuki dan Devin bertemu di sebuah kafe, kali ini ada
pembahasan khusus. Bukan apa-apa, memang sengaja dikhususkan untuk pertemuan
malam itu. Sengaja Devin, yang memberikan diskusi tidak membocorkan topiknya.
“Bro, gue akan membahas yang khusus, membahas tentang
sesuatu yang di sebut sahabat menjadi kekasih. Sebenernya kejadian ini udah
betul-betul menimpa saudara kita, Gilang dan Vanno, yang ternyata bersaing
memperebutkan Annisa.”
“Iya, sebenernya ini udah bener-bener nggak wajar. Cuma hanya satu
wanita, dua orang mampu bersaing untuk mendapatkannya. Ini nggak banget kalo
menurut gue,” ucap Yuki.
“Gimana caranya nih agar mereka nggak saling rebutan satu cewek?
Padahal Annisa nggak nyimpen rasa sama Vanno. Dia itu hanya kenal sama Gilang
doang, jadi memang dia paling-paling suka sama Gilang. Itu sih pendapat gue,
Yuk,” kata Devin.
“Gini aja, gimana kalo si Gilang kita pertemukan aja sama Annisa.
Kalo soal tempat dan waktunya, lu atur aja sebisanya ya. Kalo soal Vanno, biar
gue yang urus. Gue bakalan kenalin dia sama Lia, temennya Annisa. Lu setuju
nggak?”
“Sip! Setuju,” tutup Devin.
Akhirnya, mereka sepakat untuk menjalankan strategi yang dibuat
agar Annisa tak menjadi bahan rebutan dua sahabat mereka, Gilang dan Vanno.
Entah strateginya berhasil atau tidak.
Mereka mengakhiri obrolan yang singkat di kafe itu dengan keyakinan
bahwa mereka akan menjalankan strategi itu.
Lembaran 9
Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Mencoba lupakan, tapi aku tak bisa
Mengapa begini?
Lirik lagu dari Monita Tahaleea ini masih mengiang-ngiang di
telinga Gilang saat ini. Ia yang memikirkan Annisa, tapi ia tak pernah banyak
mengharap lebih. Mungkin lirik lagu itu pas buat menggambarkan dirinya yang
galau dan terus galau. Sudah beberapa hari ia masih memikirkan Annisa. Ia
berusaha melupakan keinginannya itu, tapi tidak pernah bisa. Ibarat mengharap
lebih, ia bertanya pada diri sendiri: aku pengen lupakan semua angan-anganku
tentang dia, kenapa tidak bisa?
Ia merenung, ia masih sekedar berharap. Apa yang terbesit dibenaknya,
pasti kesampaian, termasuk untuk menjadi kekasih Annisa, dan tidak menganggap
sebagai sahabat lagi seperti dulu. Sudah saatnya ia mengubah kesan itu menjad
spesial. Menatap langit Jakarta yang cerah, mencoba sejenak melupakan kegalauan
yang ada di hatinya saat ini. Menanti penantian yang diharapkan.
Seketika HP-nya berdering, kali ini SMS dari Devin,
“Gilang, gue pengen ketemuan sama lu, di Kafe
Abadi, jalan MH Thamrin 14 jam 7.30 malam. Jangan lupa dateng ya!”
Ia heran, mengapa Devin mengajaknya ketemuan di kafe? Ia tak
menghiraukan tanyanya sendiri. Dan ia mau datang atas ajakkan Devin.
Sementara itu, Annisa masih berulang kali mendengarkan lagu Siti
Nurhalizia yang berjudul “Janji”, ia tergelitik dengan salah satu bait lagunya
yang ia dengarkan
Sungguh kau tak pandai menimbang rasa
Karena janjimu diriku tersiksa
Seketika ia membayangkan jika nantinya ia dicap tak bisa menimbang
rasa cinta itu. Ingkar janji. Itu yang dipikirannya. Ia tak kepincut dengan
sebab akibat dari lirik lagu itu, ia terus asyik mendengarkan lagu itu hingga
selesai untuk yang kelima kalinya sejak ia putar dua puluh menit lalu.
Sama halnya seperti Gilang, HP-nya Annisa berdering, yang
meng-SMS-nya adalah Yuki
“Annisa, saya mau ketemuan sama kamu, di kafe
Abadi, Jalan MH Thamrin 14, jam 7.30 malam. Ada kejutan buat kamu. Jangan lupa
dateng ya, Nis J”
Ia kaget, mengapa Yuki ingin mengajak ketemuan di kafe semahal itu?
Dengan keheranan, ia berkata dengan mangut-mangut. “Aneh, kok Yuki SMS suruh
ketemuan di Kafe Abadi yang mahal itu? Kenapa mendadak banget? Ah, ya udah lah
dateng aja. Mungkin aja ada yang mau diomongin,”
Akhirnya, Annisa mau datang
nanti malam.
Tepat jam 7.30 malam, Annisa datang, disusul dengan Gilang yang
datang beberapa menit kemudian. Lalu ada seorang pelayan yang menunjukkan
tempat duduk untuk mereka.
“Selamat datang, nona Annisa. Silahkan tempati meja nomor 8,”
Dan ada Gilang duduk di tempat yang sama, dan Annisa tak heran
dengan hadirnya Gilang di meja itu.
“Hai, Annisa,”
“Hai, Gilang, kamu kok makan disini? Kayaknya kita janjian tempat
ya?”
“Nggak tahu, soalnya aku diajak Devin, tapi dia belum kemari. Kamu
juga diajak siapa kesini?”
“Aku diajak Yuki, ke tempat yang sama, tapi dia juga belum kesini
..”
“Berarti kita sama-sama nungguin dong nih?”
“Iya, sama,” ujar Anissa mesem-mesem.
Mereka akhirnya memesan menu makanan yang ada di daftar menu. Porsi
makanan mereka sedikit, tak banyak. Karena harga makanan di kafe ini lumayan
mahal. Alhasil mereka memilih menu yang agak terjangkau. Sambil menyantap
makanan yang disajikan, mereka ngobrol hangat. Membicarakan soal buku laris
karya Merry Riana.
“Nis, kamu kayaknya lagi pucat gitu ya? Nggak pake make up?”
“Aku nggak biasa dirias, jadi modalnya hanya lip gloss doang,” ujar
Annisa tersenyum.
“Oh ya, kamu udah baca kumpulan kisah inspiratif Merry Riana?”
“Udah, kenapa?”
“Nggak, kali aja kamu nggak tau buku terlaris itu .. hahaha.”
“Bisa aja deh kamu,”
“Itu harganya pas banget buat kantong mahasiswa kayak kita,”
“Bener banget, Gilang. Itu juga isinya berbobot. Nggak bakalan
bosen bacanya deh.”
Nampak obrolan mereka sangat akrab, konteksnya seperti sahabat yang
menghabiskan waktunya untuk berdiskusi di kafe atau restoran. Melihat dari
kejauhan, Devin dan Yuki tersenyum manis melihat kemesraan mereka. Dua orang
itu sepakat untuk menjauhkan Annisa dari Vanno yang makin hari makin
menjadi-jadi memikirkan Annisa terus-terusan.
Akhirnya berlanjut hingga selesai. Menjelang tengah malam mereka
menghabiskan malam itu. Tanpa satu nama: Vanno. Yang mungkin kalau dia ada di
tengah-tengah mereka, pasti akan kacau karena ini adalah strategi Devin dan
Yuki untuk tidak pertemukan Annisa dengannya. Dua orang itu tengah menyiapkan
segala sesuatunya untuk mempertemukan Vanno dengan Lia.
Lembaran
10
Waktu terus berlalu, rasa
bosan terus melanda. Gilang seakan merasakan itu. Konteks hubungannya dengan
Annisa hanya sebatas teman dekat saja. Itu pun kalau sedang dipertemukan dalam
satu tempat yang sama. Ia ingin utarakan rasa suka sama Annisa, tapi ia bingung
persis kapan ia akan menyatakannya. Antara takut dan was-was, ia masih
memikirkan waktu yang pas untuk mengatakannya.
Tapi, ada satu yang
mengganjal, ada orang yang merasa tersakiti, nama itu adalah Vanno, sahabatnya
sendiri. Sebelum mengagumi sosok Annisa, ia sudah tahu sejak awal sosoknya itu.
Itu yang sepintas keluar dari mulutnya sendiri soal Annisa. Ia tak gegabah
begitu saja, ia ingin Vanno bisa menghargai dan menerima dengan ikhlas Annisa
menambatkan hati untuk dirinya. Gilang Sulaiman. Ia berharap, pada pertemuannya
kali ini, Vanno mau terima apapun yang dihadapkannya, meski Annisa sekalipun.
Malam itu, Gilang memutuskan untuk tidak kemana-mana. Hanya di
rumah saja. Entah berbuat apa selagi tidak keluar rumah. Segeralah ia menuju
meja telepon, menekan nomor telepon Annisa. Dan akhirnya tersambung, mereka
bicara banyak layaknya pacaran via sambungan telepon.
“Halo, Annisa ya?”
“Iya, ini siapa ya?”
“Tetangga kamu,”
“Gilang? Oohh, itu kamu. Ada apa kamu telepon?”
Gilang ingin bicara tentang rasa suka yang tumbuh dari dalam
hatinya. Ia ingin ke rumah Annisa yang hanya selangkah saja dari rumahnya.
“Kamu nggak kemana-mana ‘kan? Aku boleh ke rumah nggak?”
“Nggak kok, mau ngapain kamu ke rumahku? Ada sesuatu yang penting?”
“Panjang ceritanya, nanti dijelasin kok. Boleh ‘kan?”
“Ya udah, kamu tinggal jalan aja. Cuma selangkah ini,”
“Hmm, oke,”
Tak lama, Gilang sampai di rumah Annisa. Kala itu, hanya Annisa
saja yang berada di rumah. Sementara Fitri tengah pergi mengaji bersama ibu-ibu
kompleks di Masjid Raya yang tak jauh dari rumah. Mereka berlanjut ke dalam
obrolan yang sempat dijanjikan.
“Kamu mau ngomongin apa? Kayaknya penting,”
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, boleh?”
“Boleh aja, aku siap mendengarkan,”
“Aku suka sama kamu,”
Annisa kaget, berusaha mencerna kembali perkataan yang Gilang
ucapkan. Ia bingung, antara mau terima atau tidaknya. Menempatkan posisi mau
menerima ‘lamaran’ cinta dari Gilang. Tapi, ia tak egois. Ia mau menjawab.
Annisa tersipu malu, saat kata itu mendarat di hatinya yang terdalam. Tak mampu
lagi ia berkata-kata, bahwa Gilang serius suka dengannya.
“Serius kamu suka sama aku?”
“Iya, aku sangat serius,”
“Yakin?”
“Sangat yakin,”
Malam itu terasa spesial. Bukan apa-apa, karena Gilang menyatakan
perasaanya sesuai dengan strateginya. Sungguh malam yang sangat bagus untuknya.
Tak sia-sia menyatakannya.
Sementara itu, Vanno memutuskan untuk makan malam sendirian di
sebuah restoran kawasan Kelapa Gading, ia sengaja memilih menu sangat sedikit
untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. Bermodalkan dua puluh lima ribu
rupiah saja, ia sudah kenyang dan puas. Di sela-sela menyantap makanan yang
sudah dipesan, tak sengaja ia melihat Lia dan menyapanya.
“Hai, Lia.”
“Vanno ya? Wah, apa kabarnya?”
“Hmm, kabar baik, tumben makan disini?”
“Saya kesini sama ortu, karena mau ngerayain ultah adik saya. Kamu
kok sendirian? Mana tiga sahabatmu yang selalu setia menemanimu?” tanya Lia.
“Lagi nggak ngumpul dulu. Mau jalani kesibukkan masing-masing,”
jawab Vanno.
“Loh? Kenapa?” ekspresi Lia berubah keheranan.
“Ya, kita memang lagi nggak ngumpul kalo udah tanggal tua. Ya nanti
kalo awal bulan baru ngumpul lagi,” ujar Vanno dengan wajah setengah datar.
“Hmm, oke. Oh ya, kamu lagi deket sama Annisa?” Lia bertanya
kembali.
Perkataan Lia membuat Vanno bak tersambar petir di siang bolong.
Tapi, ia berusaha untuk tidak menjawab. Namun, Lia terus mendesak sampai
akhirnya dijawab.
“Kok nggak djawab?”
“eee .. nggak kok, hanya temenan aja,”
“Yakin? Padahal Gilang berpotensi untuk dapetin hatinya Annisa,”
“Hmm, gitu,” gumam Vanno. “Lagipula saya cuma kagum aja sama
Annisa, bukan karena modus atau apa, saya kagum sama dia,”
“Oke, saya paham,” gumam Lia pendek, “Vanno, besok ketemuan yuk,”
“Ketemuan dimana? Kalo besok, saya mau tanding futsal sama Tim
Scudetto,”
“Pagi aja jam sembilan, emang tanding jam berapa?”
“Jam tujuh malam, ada apa ketemuan?”
“Ada deh, pokoknya besok tunggu kejutannya,” kata Lia dengan
senyum.
“Oke deh,”
Vanno tak menaruh curiga pada keinginan Lia. Ia mau bertemu pada
esok hari.
Keesokan harinya, Lia harus menepati janjinya dengan Vanno. Bertemu
di sebuah tempat, seperti yang ia janjikan pada semalam. Entah mau membicarakan
apa. Ini aba-aba dari Devin dan Yuki, rencana ini sudah dibicarakan sejak
sebelumnya. Sehingga rencana ini tidak akan bocor. Tujuannya hanya satu,
menjauhkan Vanno dari Annisa karena Gilang sudah berpotensi. Pertemuan itu
dilakukan di sebuah kafe yang sudah buka pukul tujuh tiga puluh.
Disaat yang bersamaan, ternyata Annisa berada di kafe itu. Lia
jelas kaget, yang ia mesti lakukan adalah mengajak Annisa berbasa-basi sambil
menikmati sarapan yang dipesan. Tanpa menceritakan yang sebenarnya
kedatangannya untuk bertemu Vanno.
“Hai, Annisa,”
“Lia? Kamu sarapan disini?”
“Iya, mau aku traktir sarapan?”
“Nggak usah, aku bisa beli sendiri,”
“hmm gitu, oh ya kamu udah dapet surat tugas dari Bu Meisya tentang
tugas mengumpulkan sampel novel dan sastra lama?”
“Belum. Aku belum tanya soal tugas itu, emang kamu dapet suratnya?”
“Udah, tapi jatahku banyak dibanding yang lain termasuk kamu,”
“Hmm, oke. Sabar ya, Lia.”
“Makasih, cantik.”
Dan disaat itu pula, Vanno tiba di tempat itu. Sekilas ia melihat
Annisa yang bersama Lia. Tapi, tali sepatunya terlepas dan segera menyimpulnya.
Sementara Annisa ingin pergi ke toilet dan meninggalkan Lia yang tengah duduk
menyeruput kopi espresso. Tak lama, Vanno bertemu dengan Lia di tempat yang
dijanjikan.
“Hai, Lia. Tadi aku lihat ada Annisa ya? Kemana dia?”
“Oh .. Annisa? Dia lagi ke toilet, katanya dia pengen buang hajat
kali. Dia memang kadang-kadang suka BAB tiba-tiba. Hehehe ..”
“Hmm gitu,”
“Duduk dulu, Vanno. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,”
“Mau ngomong apa, Lia? Kayaknya penting banget,”
“Vanno, aku suka sama kamu.”
Vanno terdiam. Mengusahakan mencerna kembali semua apa yang dikatakan
Lia tadi. Mungkin di pikirannya barangkali: mengapa Lia begitu banget suka
sama gue? padahal gue sama dia baru ketemuan kemaren. Gua curiga!. Tapi, ia
berusaha tidak meresponnya dengan agresif. Yang pasti, ia sudah dapat
penggantinya Annisa.
“Serius kamu suka sama aku? Padahal aku baru kenal kamu tuh
kemaren,”
“Iya, aku beneran suka sama kamu. Kacamata kamu yang membuatku
terpana.”
“Ya ampun! Jangan karena kacamataku yang membuatmu terpana dengan
aku. Tiiidddaaaaak!”
“Hahahaha,, jangan teriak kayak orang gila gitu dong! Aku sungguh
menyukai kamu,”
Sekembalinya dari toilet, Annisa terkejut melihat Vanno sudah
bersama Lia. Ia heran, kenapa Vanno tahu keberadaan Lia? Entahlah, ia tak
menaruh curiga sedikitpun. Ia lantas menghampiri mereka.
“Vanno? Kamu kok disini? Ada janji sama Lia?”
“Nggak kok, aku hanya ketemuan aja sama Lia.”
“Bahas apaan?”
Vanno tidak menjawab, sampai akhirnya Annisa terus mendesak agar
mau menjawab.
“Bahas apaan, Vanno?”
Lia menjawabnya, “Ini, dia pengen ngajakin aku ke sebuah taman
bunga yang di kawasan Sunter. Itu spot favoritku disana,”
“Oh gitu, jangan-jangan kalian sama-sama suka nih?”
Spontan wajah Vanno dan Lia memerah. Ia tak menyangka Annisa mampu
menjawab perasaan masing-masing.
“Ya udah, Lia, Vanno, aku pamit pulang dulu, mau bantuin ibu ngurus
katering,”
“Mau aku anterin nggak?” tanya Vanno.
“Nggak usah, Vanno. Aku bawa motor kok, ‘kan lagipula kafenya sama
rumahku lumayan dekat kok.” jawab Annisa.
“Hmm, oke,” ucap Vanno.
“Bye, Lia, Vanno,” ujar Annisa tersenyum.
“Good bye, Annisa.”
Akhirnya Vanno dan Lia resmi jadi sepasang kekasih. Semula Devin
dan Yuki ingin melihat momen yang paling ‘langka’. Tapi, karena mereka sedang
dikejar deadline dari dosen. Momen ini terlewatkan. Dan nantinya mereka
yang bertanya sendiri pada Vanno. Seakan mereka pura-pura tidak tahu kalau
mereka menjodohkan Lia dengan Vanno.
Lembaran
11
Agenda kencan Gilang kali ini
mengajak Annisa jalan-jalan ke sebuah taman bunga yang berada di kawasan
Sunter. Walau bukan pada malam hari, ia sengaja mengajaknya pada sore hari
sekitaran jam 3. Udara panas dan terasa membakar, tak menyurutkan niatnya untuk
berkencan dengan Annisa. Sementara Vanno juga punya agenda yang sama dan tempat
yang sama. Tapi, ini yang membuat Gilang tak tahu nantinya mereka bertemu di kesamaan
tempat.
Setelah menjemput Annisa dari
rumah, mereka bergegas menuju tempat yang diniatkan. Di tengah-tengah kencan
mereka melihat sekumpulan bunga yang indah dan enak dipandang. Sama dengan
Gilang yang memandangi Annisa dengan sejuknya. Obrolan singkat pun terjadi.
“Gilang, bunganya bagus
banget. Aku suka sama warnanya yang cerah,”
“Iya, sama seperti aku
melihat pesonamu yang cerah dan cantik,”
“Bisa aja deh kamu memujiku
kayak gitu,”
“Oh ya, mau aku belikan
bunga?”
“Hmm,, boleh,”
Gilang membelikan setangkai
bunga mawar, dan tak lama, ia kembali dan duduk di sebelah Annisa. Ia senyum
sejenak dengan Annisa dan langsung mengucap kata-kata mutiara cinta. Inilah
saat yang tepat untuk mengutarakan perasaanya pada Annisa.
“Annisa, jujur, aku sangat
mencintaimu bagai kamu menganggapku bagai sahabat yang begitu menyukai
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan aku juga pengen, hubungan ini terus
lanjut hingga kita bisa melangkah ke yang lebih serius lagi. Kamu mau menjadi
pacar aku?”
Annisa terharu mendengar kata
yang diucap Gilang tadi. Tapi ia sangat tersanjung dengan kata yang manis itu.
Dan akhirnya ia mau berucap.
“Aku ... mau jadi pacar
kamu,”
Disaat yang bersamaan, Vanno
dan Lia datang melihat pendeklarasian cinta yang dilakukan Gilang dan Annisa.
“Wah, aku senang deh akhirnya
kalian bisa saling mencintai,” sambut Lia dengan hangat.
“Iya, aku juga sangat senang
bila kalian mampu mengutarakan perasaan kalian. Dan aku juga minta maaf ya sama
kamu, Nis, atas kesalahanku sama kamu karena mengagumimu yang berlebihan,” ucap
Vanno dengan panjang lebar.
“Aku sudah maafin kamu kok.
Dan aku juga senang kalian akhirnya pacaran,” kata Annisa dengan tersenyum
manis.
“Bro, selamat ya!”
ucap Gilang sambil menjabat tangan Vanno dengan senyum lebar.
Begitu pula Devin dan Yuki
yang datang pada saat yang sama pula. Keempat sejoli ini kaget luar biasa
melihat kedatangan mereka yang tiba-tiba.
“Horee,, akhirnya kita bisa
lihat dua sahabat kita menjalin asmara sama dua wanita yang sangat cantik ini.
Selamat ya!” ucap Yuki dengan senyum sumringah.
“Mantap banget, Bro.
Gue udah paham semua ini. Antara saling suka itu sulit dielakkan. Bahkan dengan
sahabat sendiri yang saling mengagumi,” kata Devin dengan bijak.
“Terimakasih, ya, sahabatku,
hahaha ...” ucap keempat sejoli ini dengan tawa yang riang.
Dan akhirnya, GiDeKiNo
berpelukan. Ada tangis haru menandai persahabatan yang sangat awet ini. Annisa
dan Lia menatapnya dengan bahagia. Dan akhirnya mereka pun berbahagia dengan
penuh kehangatan. Sahabat barangkali bisa berubah menjadi sebuah cinta jika
salah satunya mempunyai rasa saling menyukai dan tertanamnya cinta di lubuk
hati masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar