Kamis, 26 Juni 2014

Sahabat Menjadi Cinta?



Lembaran 1
Di suatu flat di pinggiran kota Jakarta, terdapat perkumpulan para pria yang membentuk komunitas yang sungguh tak biasa, mereka menamakan perkumpulan ini adalah GiDeKiNo, mereka terdiri dari Gilang, Devin, Yuki, dan Vanno, bersekolah di sekolah yang sama, dan hobi mereka sama pula, yaitu futsal tiap tiga kali sepekan. Perkumpulan tersebut nongkrong di flat-nya Gilang hari Jumat minggu ke 2 pukul 3 petang.
Mereka bicara banyak hal, salah satu yang masih jadi bahan pembicaraan adalah soal jodoh. Sebenarnya bukan jadi topik utama, lalu mengapa mereka bicarakan yang itu? Saat ini, empat sekawan itu memang belum dapat jodoh atau pacar yang pas. Perdebatan dan adu argumen mewarnai tiap pembahasan perkumpulan ini.
Suatu ketika, di petang hari pada Jumat pekan ke-2 bulan Februari, mereka kali ini membahas tentang strategi jitu untuk mendapatkan atau meluluhkan hati perempuan. Dan kali ini, Yuki, menjelaskan materi ini.
Guys, hari ini gue mau bahas tentang strategi paling jitu dapetin cewek, pertama, kita sebagai cowok, harus bisa memberikan kata-kata maut, ya minimal kata-kata romantis lah. Setelahnya, kalo berhasil, salah satunya harus wajib ajak dia nge-date. Tujuannya biar diantara keduanya saling memahami karakter masing-masing. Elo-elo semua pada ngerti nggak nih?”
Gilang yang tak paham konsep itu, mengacungkan tangan dan berkata dengan sejujur-jujurnya,  “Gue nggak paham, Vin. Gue kan selama ini susah pake kata-kata begituan. Secara gue ‘kan bukan anak sastra,”
Devin berkilah, “Setuju apa kata lu, Gilang, gue nggak paham sama sekali. Strategi yang itu mah udah basi, apa nggak ada yang lain ya?”
“Maksudnya apa nih? jangan bilang elo semua pada nggak suka sama pembahasan ini?” tanya Yuki, kesal.
“Ya mau gimana, kalo konsepnya itu enggak pake peragaan, ‘kan kita bingung, Kakak!” seru Vanno.
“Udah deh, kalian! Gini deh, diantara kalian bertiga, siapa yang udah ngerti?” tanya Yuki.
Tidak ada yang mengacungkan tangan pertanda bahwa ia mengerti konsep itu. Entah mengerti atau tidak. Inilah yang membuat Yuki kesal.
“Tuh, masa ada yang nggak paham sih?”
Tiba-tiba, ada seseorang mengetuk pintu flat-nya Gilang. “Assalamualaikum. Kak Gilang.”
Segeralah Yuki membukakan pintu. “Waalaikumsalam, siapa ya?”
“Saya tetangganya Kak Gilang, saya Annisa. Maaf, Kak. Katanya Kak Gilang kemarin pinjem sepatu futsal kakak saya, saya kesini mau tanyakan lagi masih dipake atau nggak. Soalnya mau dipake kakak saya sparing sama teman-temannya. Kak Gilang-nya ada?”
“Bentar ya, ntar gue panggilin,” ujar Yuki.
Tak lama kemudian, Gilang datang dan membawa sepatu futsal untuk diberikan pada Annisa. “Maaf, ya, Annisa, lama nungguin ya?”
“Nggak kok, Kak,” jawab Annisa.
“Ini sepatunya. Makasih ya. Kakakmu mana, Annisa?” tanya Gilang.
“Lagi siap-siap berangkat futsal bareng teman-temannya. Ada tanding sama .. sama siapa ya timnya? Waduh lupa kayaknya,”
“Oh ya, Annisa, bilangin kakak kamu ya, soalnya tanggal 27, aku sama teman-teman disini mau adu tanding. Tolong sampaikan ya,”
“Iya, Kak, nanti aku sampaikan. Maaf ya udah ganggu kalian berdiskusi, aku pamit, Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
Setelah melihat Annisa, Gilang nampak berseri-seri. Hal inilah yang membuat Devin terperangah melihat wajah Gilang nampak memerah bak bertemu aktris papan atas. “Lo kenapa, Gilang?”
“Lo kenapa sih? Kayaknya setelah ketemu tetangga lo, muka lo sekejap memerah. Ada apa nih sama diri lo?” rentet Yuki.
“Nggak merah, ah, apaan sih lu, Yuki. Emang gue segenit itu apa?” timpal Gilang.
“Baru kali ini gue liat temen sendiri kegenitan sama cewek!” seru Devin, meledek.
“Ya kali aja lo suka sama tetangga lo sendiri .. hihihi ..” ledek Vanno.
“Vanno. Awas lo ya! Jangan sampe buku ini melayang nih! Aaarrrgggghhhh!”
“Hahahahaha ...”
Obrolan itu seketika berhenti dengan tawa canda mereka karena ledekkan Rosevanno untuk Gilang.





Lembaran 2
Keesokan harinya, tepatnya di hari Sabtu minggu ke-2 bulan Februari. Gilang bergegas menuju sebuah rumah susun yang tak jauh dari flat-nya. Ia terburu-buru lantaran ia harus membantu Yuki mengerjakan tugas bahasa Inggris. Saking cepatnya, ia tak sadar dengan orang yang lalu lalang di hadapannya. Maklum saja, flat-nya berdekatan persis dengan pasar, jadi kalau mau berjalan-jalan harus “permisi-permisi” dengan pengunjung pasar yang kadang penuh sesak.
Namun, dalam perjalanan menuju tempat Yuki, tak sengaja ia menabrak Annisa yang tengah membawa sayuran dan beberapa buah tomat.
“Annisa, aku minta maaf ya, sini aku bantuin beresin,” kata Gilang.
“Aduh, Kak, hati-hati dong kalo jalan, lihat sekitarnya lah. Udah tau ada orang-orang yang lalu lalang disini,” seru Annisa, kesal.
Disaat mereka saling membereskan, tak sengaja, tangan Gilang memegang tangan Annisa. Mereka saling menatap. Lalu, Gilang tersadar akan tugasnya itu.
“Oh, maaf ya, Anissa, aku harus pergi. Sekali lagi aku minta maaf,” kata Gilang.
“Kak .. lain kali hati-hati ya kalo jalan,” seru Annisa.
Di perjalanan, Gilang tersenyum sendiri melihat wajah cantik Annisa dan membayangkan kejadian yang membuatnya menatap Annisa terlalu lama. Entah karena rasa suka itu ada, Gilang masih senyam-senyum sendiri.
“Astagfirulloh, Nisa cantik banget. Ah nggak mungkin kalo dia suka sama gue, secara gue ‘kan tetangganya. Nggak bakalan mungkin gue suka sama dia!”
Sesampainya di tempat tujuan, Gilang sampai di rumah Yuki dengan perasaan yang amat ‘berantakan’, antara tersipu dan kagum. Ini membuat Yuki keheranan, begitu pula dengan Vanno dan Devin yang semakin heran membaca gelagat Gilang.
“Gilang, lo kenapa senyam-senyum gitu sih dari kemaren?”
“Iya, lo kayaknya beneran suka sama tetangga lo itu? Iya ‘kan?”
“Pertanyaan elo-elo semua emang basi!” seru Gilang.
“HAH?” seru Vanno dan Devin.
“Apa maksud lu ngomong gitu? Hah? Kita disini nungguin lu sampe dua puluh menit.” timpal Yuki.
“Gue ngomong gitu, karena pertanyaan yang lo ajukan udah umum!” tukas Gilang.
“Wah .. parah nih anak! Mulutnya nggak diayak, pengen gue beri nih!” ancam Vanno.
“Iya deh, ampuni gue. tapi lo jangan berniat apa-apain gue!” jawab Gilang, memohon.
“Haha .. gue suka temen yang memohon .. Nggak sampe gitu, ah, ya udah kita maafin atas keterlambatan lo dalam tugas kelompok ini. Sekarang kita mulai aja, udah agak siang nih!” keluh Yuki.
Akhirnya, mereka dapat mengatasi konflik tersebut dengan tenang. Dan mereka berlanjut pada tugas bahasa Inggris yang dikasih oleh guru bidang studi yang bersangkutan. Sejenak Gilang melupakan kejadian di pasar tadi, ia tak mau nantinya tiga temannya bakal curiga hanya karena satu nama. Annisa.
Jakarta nampak mendung malam itu, tanpa sengaja, Vanno bertemu dengan Annisa yang tengah pulang dari masjid usai ibadah sholat Isya. Mereka saling berkenalan, dan perbincangan pun terjadi.
“Assalamualaikum, Annisa,” sapa Vanno.
“Waalaikumussalam warrohmatulloh, maaf sebelumnya, kamu temennya Kak Gilang ‘kan?” tanya Annisa.
“Iya, kenalin, gue Rizky Rosevanno, biasanya temen se-geng gue panggilnya Vanno.”
“Saya Annisa Fabrianna. Oh kamu yang sering ngumpul di rumahnya Kak Gilang tiap hari Jumat?”
“Kok lo tau perkumpulan kami?”
“Saya denger dari tetangga yang lain, kalo tiap jumat pekan ke berapa gitu saya lupa, sering ngumpul-ngumpul gitu bahas yang populer. Bener nih apa yang saya maksud?”
“Iya,” jawab Vanno singkat.
Annisa merogoh saku gamisnya, “Hmm, gitu toh. Hehehe ... Oh ya, Vanno, saya mau nitip sesuatu sama kamu,”
“Nitip apa?” tanya Vanno.
“Tolong kasih ke Kak Gilang, ini uang buat pendaftaran tanding di Mahardika Futsal tanggal 27, soalnya kakak saya dan timnya mau main bareng kalian, lumayan uangnya buat main berjam-jam,” jelas Annisa tersenyum.
“Oh ya, makasih ya, Annisa. Tumben kakak lo inget sama yang beginian,” ujar Vanno, sumringah.
“Hehehe ... mungkin teringat apa yang direncanakannya,” Annisa hanya bisa tertawa kecil.
“Annisa, gue pamit dulu mau ngasih duitnya ke Gilang. Sekalian mau bicarain jadi sparing atau nggak. Sekali lagi makasih ya, Nis,”
Afwan1,”
“Apa artinya?”
“Sama-sama, Vanno. Hihihi ...”
Vanno hanya bisa tersenyum melihat kecantikan Annisa yang baru ia temui. Kagum dan rasa menyukai, itu yang dirasakannya saat ini. Sedari tadi wajahnya nampak berseri-seri. Sama halnya dengan Gilang dua hari ke belakang. Ada rasa di antara mereka berdua terhadap satu nama. Annisa? Entahlah ...


Lembaran 3
Sore itu, di flat Gilang, empat sekawan berkumpul lagi. Seperti biasa, pembahasan yang paling populer dalam komunitas GiDeKiNo. Biasanya mereka kumpul di hari Jumat, tapi diubah lantaran banyak kesibukan dari mereka. Pembahasan kali ini seputar masalah kegantengan dari diri mereka. Kali ini, Devin yang memulai diskusi jenaka tersebut.
Guys, nggak terasa udah pekan terakhir bulan Maret. Hari ini, gue mau bahas tentang kegantengan diri masing-masing. Nah, ‘kan selama ini cowok kayak kita nih, cuek banget sama penampilan bahkan diri sendiri. Ehem! Gue mau tanya sama lo-lo semua yang ada disini. Siapa yang hari ini merasa ganteng?”
Hanya Gilang saja yang melambaikan tangannya bahwa ia merasa tampan. Sementara yang lain hanya mengacungkan jempol saja yang jadi modal.
“Eh, Vanno, lo nggak ganteng hari ini?” tanya Devin.
“Gue belum cukur rambut, makanya nggak ganteng,” jawab Vanno diikuti dengan sorakkan Gilang dan Yuki.
“Kalo Yuki gimana?” tanya Devin lagi.
“Tahi lalat gue belom dioperasi nih. minder gue jadinya!” jawab Yuki, kocak.
“Heeuuuhh, Yuki!” teriak Vanno dan Gilang.
Tiba-tiba, Annisa datang membawa tiga rantang, beberapa lembar daun pisang dan satu bakul nasi. Ia sengaja membuatkan makan siang untuk mereka karena hari libur. Selama ini, Annisa jarang sekali memasak di rumah. Selalu membantu ibunya masak-masakkan catering.
“Assalamualaikum, Kak Gilang and friends?,” sapa Annisa.
“Waalaikumussalam. Eh, Neng Annisa. Masuk, masuk,” jawab Devin dan Yuki.
“Teman-teman yang sangat ganteng dan cakep, hari ini saya bawakan makan siang untuk kalian. Ada ayam goreng, sayur lodeh, sama lalapan sayur. Oh ya, silahkan dimakan ya, semuanya,”
“Sebelumnya, kita mau kenalan dulu nih sama kamu, aku Muhammad Devin dan ini Yuki Pradana. Salam kenal,” perkenalan mereka dibalas senyum oleh Annisa.
“Kamu enggak makan, Nis?” tanya Gilang.
“Nggak kok, Kak. Saya mau bantuin lagi Ibu masak catering, udah kalian makan aja.” jawab Annisa.
“Jangan panggil Kakak dong, Nis. ‘kan kita seumuran, manggilnya Gilang aja ya,”
“Annisa, makan aja bareng kita, ‘kan kamu bawa satu bakul nasi. Makan bareng-bareng aja sama kita. Daripada bolak-balik kesini, iya ‘kan?” ajak Vanno.
“Hmm, ya udah deh,” ujar Annisa.
Mereka makan bersama, keakraban dan kehangatan mewarnai agenda makan siang ‘dadakan’ di flat Gilang. Sedari tadi Vanno masih memperhatikan Annisa yang tengah bercakap-cakap dengan Yuki dan Devin. Ia memandangi terus dengan membayangkan dirinya dan Annisa bersanding. Namun, ia tak egois, ia tahu bahwa ada satu orang yang terang-terangan menyukai Annisa. Gilang. Ia tak berani bermimpi sejauh itu.
“Eh, Vanno, kok lo bengong gitu, abisin tuh makanan lo,” tegur Gilang.
“Oh ya, maaf, Gilang. Gue lagi ngelamunin sesuatu,” kata Vanno.
“Ngelamunin apaan sih, Vanno? Pasti lagi mikirin duit buat tanding tanggal 27? Ada kok!” jawab Gilang.
“Oh, ya udah deh gue lega banget,” gumam Vanno.
Mereka melanjutkan makan-makan hingga terasa kenyang yang akan dirasakan.


Lembaran 4
Hari sabtu, sebagian orang tengah berlibur guna mengusir kejenuhan selama lima hari beraktivitas. Begitu pun dengan Gilang dan tiga temannya, mereka menikmatinya dengan bermain futsal bersama di Mahardika Futsal di Kenanga Residence yang tak jauh dari rumah mereka. Kali ini mereka bertanding dengan Dimas Sukma, kakak Annisa, bersama tim futsal tempatnya bernaung. Adu sparing dimulai, sekilas permainan sangat sengit karena skor masih kacamata (0-0). Dan di menit ke 23, Yuki berhasil menjebol gawang tim Dimas Sukma, skor 1-0 bertahan hingga turun minum.
Di luar lapangan futsal, nampak Annisa dan temannya, Farida, menyaksikan orang yang mereka sayangi bermain bersama. Mendukung agar menang saat permainan berlangsung. Dengan semangat Annisa berkata, “Kalian bisa, GiDeKiNo!”
“Annisa, mereka berempat itu singkatannya GiDeKiNo?” tanya Farida.
“Itu singkatan dari Gilang, Devin, Yuki dan Vanno. Mereka sahabatan kok, Farida,” jawab Annisa.
Permainan usai, skor kedua tim 1-0, masih sama seperti babak pertama. Namun, semangat kedua tim ini tak surut bahakan saat usai permainan, mereka ngobrol dengan tim lawan. Keakraban yang terlihat dan bukan permusuhan yang terjadi. Annisa senang, selain GiDeKiNo bisa akrab dengan kakaknya, Dimas Sukma dan timnya, permainan ini juga mengajarkan sportivitas dan jujur saat berlaga. Hatinya berseri-seri bahagia.
“Alhamdulillah, kalian ternyata kompak ya dalam futsal. Salut deh,” kata Annisa.
“Makasih dukungannya ya, Nis,” jawab Gilang.
“Bakalan sering-sering tanding nih kalo weekend,” sambung Devin.
Mereka tertawa bahagia atas hari ini yang sangat sportif.
“Oh ya, Gilang. Vanno kemana ya? Kok dari tadi nggak muncul-muncul?” tanya Annisa.
“Tadi dia pamit mau temenin nyokapnya belanja, dia nggak nitip apa-apa sama kita,” jawab Gilang.
“Oke, sebagai pesta kemenangan kita dalam adu kali ini, gimana kalo kita jamming di flat-nya Gilang lagi. Gimana?” ajak Yuki.
“Oke deh, Bos. Sip! Tapi jangan lupa ajak Vanno, entar ngambek kalo nggak diajak,” seru Devin.
“Annisa, kamu mau ikutan?” tanya Gilang.
“Gimana ya? Aku ‘kan hanya perempuan seorang. Belum lagi aku juga mau bantuin ibuku masak,” ucap Annisa.
“Aku aja deh yang ijinin ke ibu kamu untuk pesta di flat-ku,”
“Nggak usah, Gilang. Biar aku aja yang ngomong. Kalo dibolehin, aku ikut. Tapi kalo nggak ya aku cuma nitip makanan aja nanti. Oke,” ujar Annisa.
“Ya udah deh, sekali lagi makasih ya udah mau dateng lihat kita tanding,”
“Sama-sama, Gilang,”
Vanno sengaja menghindar dari mereka karena ia sudah tahu, Gilang ternyata menyukai Annisa dari sikap dan kelakuannya padanya selama ini. Keegoisan belum tertanam pada diri Vanno. Sekali lagi, keegoisannya belum muncul.
Malam harinya, seperti yang dijanjikan, GiDeKiNo akhirnya pesta kemenangan di flat-nya Gilang. Acara dimulai jam tujuh hingga sepuluh malam. Mereka sudah berkumpul, dan menyalakan musik yang mereka suka. Seisi flat menjadi ramai dan penuh hingar bingar musik yang didendangkan. Sementara Annisa masih sibuk membuatkan makanan untuk mereka, nampak dapurnya berantakan dan penuh dengan semua peralatan dapur.
“Annisa, kamu udah buatin mereka kue belum?” tanya ibunda Annisa.
“Bentar lagi, Bu. Bentar lagi selesai,” jawab Annisa.
“Cepetan, Nak. Ibu nggak mau mereka kelaparan saat pesta yang nyaris bikin riuh seisi flat,” keluh ibunda Annisa.
Annisa hanya menggangguk apa yang dikatakan ibundanya, dan masakan telah selesai, tinggal dibawa ke flat Gilang. Makanan itu ada dalam tiga rantang berbeda. Hatinya senang karena ia bangga dengan kekompakkannya, dan kerjasamanya.
“Assalamualaikum. Gilang,”
“Waalaikumsalam. Annisa? Ayo masuk,” jawab Gilang.
“Ini makan malam kalian, ada kue bolu, biskuit kacang, sama kue cokelat. Semua murni bikinan saya. Silahkan dimakan sambil nge-jamming sampai puas,” kata Annisa.
“Makasih ya!” seru Yuki diikuti Vanno dan Devin.
 Kembali, keakraban dan keharmonisan ditunjukkan mereka dalam jamming kali ini. Tapi, ini berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Gilang. Masih galau. Sedari tadi masih memandangi Annisa yang nampak menikmati alunan musik yang dimainkan.
‘Kok gue masih mikirin Annisa ya?’ bathinnya berbicara. Hatinya ngilu dan bergetar. Ini rasa yang harus dirasakan Gilang saat ini. Menyukai dan mengagumi pada Annisa.
Vanno sebenarnya tahu, Gilang ternyata suka sama Annisa. Tapi, mau bagaimana lagi, Annisa sudah dekat dengan Gilang sejak lama. Wajar kalau mereka saling dekat. Rasa cemburu Vanno sudah tertanam, mungkinkah ia bakal berkompetisi memenangkan hati Annisa? Entahlah, hanya waktu yang menjawab. Tapi, ia setidaknya tahu diri.
Gilang masih bermimpi. Senyuman dan kecantikan dari diri Annisa tak bisa ia hilangkan begitu saja. Bahkan ia tak berani untuk mengelak semua gejolak rasa itu. Mengagumi tapi mesra (MTM)




Lembaran 5
Di suatu pagi yang cerah, Gilang menatap langit Jakarta yang tersenyum lewat jendela kamarnya, serupa dengan hatinya yang berbinar-binar setelah menatap Annisa. Menyandarkan kepalanya di dinding kamarnya, ia menatap langit terus-menerus dan ia berkata,
“Apa mungkin aja gue suka sama Annisa? Atau Annisa suka sama gue?”
Tiba-tiba, Yuki yang melihat Gilang melamun di dekat jendela kamarnya langsung menepuk pundaknya, “Woy! Lu ngelamunin siapa sih, Gilang?”
Jelas saja Gilang kaget bukan kepalang, “Eh, elu, Yuki. Gue lagi kagum sama seseorang. Seseorang yang selalu membuat hari-hari gue makin ceria kalo ada dia,”
“Siapa yang lu maksud? Annisa?” tanya Yuki.
“Yuki! Kok lu tau sih?” seru Gilang.
“Ya gue liat dari tampang lu akhir-akhir ini. Selalu senyum kalo Annisa kesini buat anterin makanan untuk kita. Lu ada rasa sama dia?” tanya Yuki curiga.
Bingung Gilang mau menjawab apa, tapi ia menjawab dengan sepatah kata, “Bisa jadi iya,”
“Hihihi .. bener ‘kan apa yang gue lihat. Lu tuh lagi kasmaran sama tetangga sendiri. Emang lu sama dia udah kenal berapa lama?” tanya Yuki lagi.
“Dari SD, gue sama dia satu sekolah sampe SMP, gue tuh emang udah suka sama dia. Tapi nggak dikatakan sejujurnya,” jelas Gilang.
“Apa nggak takut kalo ada pesaing yang mampu jatuhkan hatinya Annisa?”
“Maksud lu apa tanya kayak gitu, Yuk?” tanya Gilang.
“Yaa .. yang gue tau, bisa aja dari anggota ini yang suka sama dia selain lu,” jawab Yuki.
“Devin?”
“Bukan.”
“Vanno?”
“Bisa jadi, gue lihat dari kemaren-kemaren dia tuh ‘adem’ banget kalo mantekin Annisa, serius lho, Gilang, gue nggak bohong.”
Gilang terdiam, kemungkinan untuk mendapatkan hati Annisa terganjal dengan satu nama. Vanno. Sahabatnya sendiri. Namun, ia tak merasa tersaingi. Siapapun boleh mengagumi Annisa, begitu menurutnya. Tapi, semua kembali pada perasaan masing-masing.
Seperti biasa, Annisa membantu ibunya memasak masakan catering yang berdiri tak jauh dari flat tempat mereka tinggal. Fitri sudah menangkap gelagat mencurigakan dari diri anaknya.
“Nak, ibu lihat akhir-akhir ini kamu lagi seneng sama seseorang?”
“Bu, jangan ngaco deh, aku ‘kan udah bilang, aku baik-bak aja kok,” jawab Annisa.
“Nak, ibu boleh nanya sama kamu, tapi jawab yang jujur. Kamu lagi suka sama Gilang?” tanya Fitri curiga.
Annisa terdiam, tidak menjawab rasa curiga Fitri yang menurutnya kelewatan.
“Nak, kok kamu diam?”
“Nggak, Bu. ‘kan ibu tau sendiri kalo aku sama Gilang itu temenan udah lama sejak SD, bahkan ibu udah kenal sama ayah ibunya. Wajar kalo dia ada sesuatu sama aku. Uupppss!”
“Hayoo, kamu naksir sama Gilang ya? Jujur aja sama ibu,”
Seketika pipi Annisa memerah dan menunduk malu karena ucapannya yang salah.
“Iya deh, Bu. Aku akui kalo aku suka sama Gilang. Tapi Gilang yang beneran suka sama aku, Bu,”
Fitri tersenyum, “Ya udah deh, ibu percaya sama kamu, Nak. kalo kamu memang suka udah utarakan aja sama Ibu,”
Annisa hanya bisa diam dan melempar senyum pada ibunya. Ia tak percaya bahwa sang ibu berani bicara yang seperti itu. Harinya kali ini hanya diisi oleh sikap DIAM dan tak meladeni pertanyaan yang merentet dari ibunya.


Lembaran 6
Siang itu, perkumpulan GiDeKiNo sedang libur, tidak ada pembahasan hangat yang dibicarakan. Gilang yang punya waktu luang untuk belanja di pasar. Sudah lama ia tak ke pasar yang hanya sejengkal kaki dari flat-nya. Ia membeli bahan makanan lumayan banyak. Untuk dimakan hari ini dan stok sebulan ke depan. Uang sebesar seratus lima puluh ribu ternyata cukup untuk belanja sebanyak itu, dan tak lupa ia juga membelikan snack untuk Devin, Vanno dan Yuki yang nanti sore akan main lagi ke flat-nya.
“Udah belanja banyak, jadi bakalan aman nih stok makanan selama sebulan,” kata Gilang sambil tersenyum memandangi beberapa kantong plastik yang berisikan hasil belanjaan yang dipegangnya. “Jadi nggak perlu ngerepotin Annisa lagi, kasihan dia buatin makanan mulu tiap hari buat aku,”
 Tiba-tiba, dalam perjalanan pulang, Gilang bertemu dengan Annisa yang juga ingin belanja kebutuhan masak.
“Annisa,”
“Gilang. Tumben kamu belanja sebanyak ini? Lagi banyak duit nih?” tanya Annisa.
“Iya, kemaren dapet kiriman duit dari ibu aku tiga juta rupiah, nah, aku ambil sebagian buat belanja kebutuhan bulanan, Nis. Kamu mau belanja apa?”
“Mau belanja kebutuhan kue. Kebetulan margarin sama ragi lagi habis, makanya aku mau belanja lagi. Teman-teman kamu kemana? Kok dari pagi tadi nggak ada suaranya?”
“Nis, nanti sore mereka main ke flat-ku. Kalo pagi hari mereka nggak kesana,” ujar Gilang tersenyum.
“Ya udah ya aku mau belanja dulu. Hati-hati bawanya ya. Takut jatoh belanjaan kamu, hihihi ...”
Kali ini, Gilang tersenyum lebar, melihat wajah Annisa yang begitu mempesonakannya dan bikin kagum baginya. Benar dugaan Yuki selama ini, bahwa Gilang ternyata suka sama Annisa. Sudah tepat jawabannya.
Sore harinya, GiDeKiNo kembali berkumpul. Tidak membahas yang sedang ‘panas’ dibicarakan, melainkan ingin membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan Annisa. Bukan apa-apa, tapi ini ada hubungannya dengan Vanno dan Gilang.
Guys, gue sengaja kumpulin kalian lagi sore ini, terkait masalah dua temen kita, Vanno dan Gilang, yang ada di tengah-tengah kita. Yang dikabarkan tengah menyukai seseorang,” Yuki memulai diskusi.
“Aha! Gue tau, Annisa!” seru Devin.
Vanno berkilah, “Apaan sih, Vin. Jangan ngaco deh,”
“Lu jangan munafik deh, Vanno! Lu sebenernya suka ‘kan sama Annisa? Aneh, kok lu tambah mencurigakan banget?” tanya Yuki curiga.
Vanno memilih diam, dia pasti merasa: kok Yuki tahu sih orang yang gue sukain? Padahal gue berambisi untuk saingan sama Gilang!. Ia masih diam, kagok ingin menjawab dengan apa. Sekali lagi, ia memilih untuk diam. Ia harus bungkam.
“Woy! Kok nggak dijawab? Kita semua butuh jawaban dari lo nih!” keluh Yuki.
“Nggak kok, Yuk. Gue hanya kagum aja sama Annisa yang ternyata baik ngasih kita makanan siang malam tiap hari,” ujar Vanno, tersenyum datar.
“Bener? Cuma kagum doang?” rentet Yuki lagi.
“Iya, Yuki,” angguk Vanno.
Gilang curiga, gelagat Vanno yang menurutnya agak mencurigakan belum mengatakan sejujurnya tentang rasa sukanya terhadap Annisa. Tapi, berhubung Vanno adalah sahabatnya, ia tak berani bicara lantang tentang kecemburuannya itu. Kelakuan Vanno hari itu membuatnya makin curiga dan semakin curiga. Simfoni hitam tentang kecurigaanya terhadap Vanno makin tumbuh.
‘Kok Vanno nggak jujur soal rasa suka sama Annisa ya? Gue curiga. Dari tampangnya aja dia nggak bilang yang sebenarnya.’ Bathinnya berbicara lagi. Ia sadar, ia tak berani berbicara kecurigaannya. Tapi ia harus menahannya.
“Oh ya, Vanno, gue minta maaf ya udah curigaan sama lo soal Annisa,”
“Ya udah nggak pa-pa, ‘kan kita sahabatan, jadi wajar kalo curigaan,” kata Vanno.
“Hahaha .. bisa aja deh lo,” ujar Gilang tertawa.
Akhirnya mereka melanjutkan pembicaraan dengan nyaman kembali. Meski Vanno berbohong soal rasa suka pada Annisa, tapi Gilang masih memaklumi bahwa dia perlu untuk belajar mengerti tentang mengagumi dan menyukai seorang wanita. Ia tak berani mengecapm dirinya yang gampang posesif terhadap sahabatnya sendiri.


Lembaran 7
Sore semakin menunjukkan tanda-tanda menjelang malam, langit Jakarta diguyur hujan sedang dan hawa dingin yang menusuk. Annisa merasakannya seperti kehilangan semangat untuk membantu ibunya memasak seperti biasanya. Ia lebih memilih untuk menyalakan komputer untuk hilangkan jenuhnya. Ia sengaja ingin membuka e-mail untuk melihat kotak masuk yang sudah sesak, ada hampir 70 yang masuk. Menunggu internet Wi-Fi rumahnya konek, HP-nya bunyi, menandakan SMS masuk. Ia lekas membukanya, ternyata yang meng-SMSnya adalah Vanno yang berisi:
“Assalamualaikum, Nis. Aku ganggu kamu nggak hari ini?”
Ia menjawab,
“Waalaikumussalam, Vanno. Nggak kok, ada apa?”
Setelah mengirimkan SMSnya yang pertama, HP-nya bunyi lagi, menandakan balasan dari Vanno,
“Nis, aku boleh jujur nggak sama kamu?
“Soalnya aku tuh suka sama kamu ..”
Ia tak membalas SMS yang merentet itu, ia bingung mau menjawab apa yang dikatakan Vanno itu. Tapi, ia ingin membalasnya, dengan berisi:
“Kenapa kamu suka sama aku sih, Vanno?”
Vanno membalas,
“Karena aku suka gaya bicara kamu yang santun dan membuatku terkesima, Nis ..”
Kali ini, Annisa sudah tak mampu lagi membalas SMS Vanno yang menurutnya bagai menerima bunga nyasar dari penggagum rahasia. Ia sudah tak kuat. Ia lebih memilih cuek, tak membuka bahkan menyentuh HP-nya lagi.
Disela-sela membuka e-mailnya, ada sebuah surel dari Farida, ia membuka dan berisi:
Assalamualaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh ..
 Annisa, Apa kabar? Udah beberapa hari ini nggak ketemu kamu aja udah kangen setengah mampus. Hihihi :p *sorry*.
Oh ya, aku denger dari temen-temen aku di kampus, katanya kamu lagi direbutin sama Gilang dan Vanno ya? Terus aku mau nanya juga, kenapa kamu enggak mutusin salah satu dari mereka, Nis? Biar adil, dan enggak dicap Playgirl nantinya. Kalo kamu keberatan dengan semua tanyaku ini, nggak dibales juga nggak apa-apa kok, Nis. Aku pengen kamu tuh bisa mutusin apa yang menjadi pilihan kamu. Antara Gilang atau Vanno? Semua balik lagi ke imanmu yang kuat. Oke, sayang.
Maaf sebelumnya udah ganggu kamu, tapi ini semata-mata Cuma ingetin sama kamu untuk bisa adil dalam memilih. Makasih atas waktunya untuk membaca surel ini.
Wassalamualaikum warrohmatullohi wabarokatuh ..
Ia terkejut, bagaimana dia tahu kalau Annisa sedang ‘diperebutkan’? mau menangis, salah, mau marah juga salah. Apa reaksinya? Ia memilih untuk tak membalas e-mail itu dan melanjutkan safari ria di komputernya. Ia membayangkan, kalau harus memilih satu diantaranya, akan menimbulkan tanya tersendiri di benaknya: kenapa aku pilih dia?. Demikian tanyanya yang mengiang di telinganya itu.
Lalu ia membuka e-mail yang kedua, ada subjek KETIKA SEGALA SESUATUNYA DATANG, berasal dari alamat lia_47@xxx.co.id yang berisi:
Assalamualaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh...
Apa kabar wahai sahabatku diluar sana? Aku yakin kamu baik-baik saja dan dilindungi Allah SWT. Amin. Bagaimana kabar ibu dan bapakmu, Annisa? Pasti dalam keadaan sehat walafiat ya. Amin. Aku sengaja mengirimkan surel ini, semata untuk mengusir rasa kangenku yang sudah berlarut-larut selama sebulan libur kuliah.
 Aku ingin bicara tentang judul subjek ini. Ketika mempunyai tambatan hati yang didasari oleh rasa cinta, pasti semua bakalan senang. Tapi, bila segala yang sesuatunya datang dari sesorang yang baru kenal atau sudah kenal dengan orang sekitarmu, pasti dalam benakmu ada rasa, ada cinta dan ada sesuatu yang membuatmu bimbang memilih semuanya. Kamu sudah punya kekasih belum, Nis? Setahu aku, kalau seseorang mempunyai kekasih yang awalnya sahabatan, pasti suatu saat akan menemukan kebahagiaan yang hakiki. Tergantung dari iman dan ketaakwaan kamu. Aku mau tanya sama kamu, benar kamu lagi kasmaran sama sahabat sendiri?
Kalau kamu keberatan menjawab pertanyaanku atau merahasiakannya, tidak usah dibalas atau abaikan saja juga tak apa-apa. Selama kamu merasa ini adalah jawaban dari sesuatu yang datang dari hati dan diri sendiri untuk dapat adil. Terimakasih atas waktunya.
Wassalamualaikum warrohmatullohi wabarokatuh.
Sekilas wajah Annisa datar melihat isi surel itu, namun kiriman itu ada benarnya.
“Mungkin e-mail dari Lia bener juga ya, aku harus bisa menentukan sikap bila itu bisa dilakukan,” ucapnya dalam hati.
Dua jam, bersafari ria dengan koneksi internet di rumahnya, ia langsung mematikan komputernya dan segera melaksanakan sholat Maghrib, dan setelahnya langsung menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Fitri, sang ibunda. Selama menyantap makanan, Fitri terus memandang perilaku aneh anaknya itu.
“Kamu kenapa, Nak? kok wajahmu datar gitu?”
“Nggak pa-pa kok, Bu. Hanya lagi boring aja abis buka e-mail tadi. Isinya curahan hati temanku semua, Bu,” kata Annisa.
“Perasaan ibu lihat sejak kemarin, wajahmu gelisah mulu, kamu kenapa? Ayo jujur sama ibu,” tanya Fitri.
“Nggak pa-pa, Bu. Hanya itu yang dirasa sekarang,”
“Ooh gitu, ya udah jangan galau terus, nggak enak dipandangnya .. hihihi ..”
Mereka berpelukan, dan melupakan apa yang di galau-kan Annisa dan melanjutkan makan malam hingga kenyang melanda. Ia bimbang. Jawaban seperti apa yang nanti dihasilkan oleh sang Illahi. Entahlah.


Lembaran 8
Libur kuliah usai, rutinitas mahasiswa kembali dijalankan. Aktifitas kembali jalan dan cuaca pagi itu nampak berawan. Annisa nampak tak semangat menjalani kuliahnya kali ini, merasa tak berenergi setelah teror demi teror tentang rasa adil menerpanya kemarin. Ia bingung, mana yang harus ia pilih. Bertemankan buku-buku Tafsir Islam, ia membaca lembar demi lembar buku itu dengan raut muka datar dan gelisah.
Tidak sengaja, Yuki bertemu Annisa yang tengah asyik membaca buku, “Annisa,”
“Yuki?”
“Kamu ngapain disini, Nis?”
“Saya lagi tenangin diri dulu sebentar dengan baca buku, kamu baru dateng?”
“Nggak, baru dari perpustakaan abis ngobrol sama Vanno,”
“Ngobrol sama Vanno, ngapain aja, Yuki?” tanya Annisa sambil pura-pura tidak melihat Yuki.
“Dia bicara soal SMS-nya yang ia kirim ke seorang wanita, seorang wanita yang mampu membuat dia jadi terkesima,” jawab Yuki dengan bahasa berteka-teki.
“Maksud kamu? Saya?”
“Mungkin aja, karena dari beberapa minggu ini, Vanno selalu mikirin kamu terus,” kata Yuki ketus.
Perkataan inilah yang membuat hati Annisa semakin ‘panas’, “Yuki, tolong kamu bilang sama dia, saya belum tentu bisa mengambil keputusan untuk menerima dia sebagai tambatan hati saya,” gumam Annisa.  “Karena pesan demi pesan kemarin seperti teror cinta yang datang bertubi-tubi. Saya belum bisa ambil semua ini,” ucapnya yang seketika berubah menjadi emosi.
“Jikalau perlu, kamu bilang aja sama dia, jangan pernah titip perkataan itu kepadaku, karena aku bukan perantara,” timpal Yuki.
Saking kesalnya, Annisa pergi meninggalkan Yuki yang sudah membuatnya tersulut emosinya. Sampai saat itu, Yuki tak paham apa yang menjadi faktor Vanno menyukai Annisa, meski ada yang menyukainya juga. Gilang.
“Apa maksudnya nih? Gue nggak paham sama sekali soal ini,” ucap Yuki sambil menggelengkan kepala.
Saat di kelas, Annisa masih mencoba menahan tangisnya tadi. Ia tak paham dengan apa yang dikatakan Yuki tadi. Serasa tangisnya mau pecah. Dan teman sebangkunya, Lia, berusaha menghiburnya.
“Udahlah, Nis. Nggak usah ditangisin, emang tuh Yuki kayak nggak terima temennya suka sama kamu,”
“Apa maksud kamu, Lia? Aku nggak ngerti,” ucap Annisa.
“Gini, dari beberapa hari lalu Yuki sebenernya dari awalnya welcome sama kamu, eh jadi malah nggak suka sama kamu. Cuma karena Vanno berusaha deketin kamu. ‘kan kamu tahu sendiri si Yuki gimana kalo marah, kayak raja ngamuk nggak dikasih makan satu tahun!”
“Lia, kamu kemaren yang kirim e-mail ke aku ya?”
“Bukan kemaren, itu tiga hari lalu, itu sih aku cuma kasih solusi aja soal cinta segitiga ini, semoga bisa jadi referensi,”
Annisa memeluk Lia, dengan tangis tertahan, “Lia, kamu kok tahu soal ini sih? Dari mana kamu tahu?”
Lagi-lagi Lia berusaha menenangkan, “Aku tahu ini semua berawal dari Devin, dia cerita semuanya, bahkan untuk ngomongin ini ke kamu aja aku nggak berani, aku nggak enak sama kamu, Nis, udah jangan nangis lagi ya,”
“Makasih, Lia.”
“Sama-sama, Nis. Tenangin diri kamu ya,”
Sore itu, Vanno memutuskan membicarakan soal pesan singkatnya yang dikirimnya ke Annisa. Membicarakan yang sebenarnya mengapa ia begitu kasmaran dengan Annisa. Namun, kedatangannya justru membuat Fitri makin tidak welcome terhadap Vanno.
“Assalamualaikum. Annisa?”
“Waalaikumsalam, kamu Vanno ‘kan?”
“Iya, Tante. Saya pengen ketemu sama Annisa. Ada orangnya?”
“Tolong jangan cari-cari dia lagi ya, dia udah nggak suka sama kamu. Sekarang dia mau tenangin diri dulu. Jangan diganggu. Terima kasih, silahkan kemari kapan-kapan.” ucap Fitri sambil menutup pintu rumahnya.
Vanno terheran-heran. Mengapa Annisa bersembunyi begitu cepat pasca SMS yang dikirimnya yang lalu. Apa mungkin menurutnya SMS itu bagai teror kasmaran yang membuat Annisa makin menutup diri? Dan sejak saat itu, ia memutuskan untuk tak berani menginjakkan kaki lagi di rumah Annisa. Pasca kejadian itu. Entah.
Malam harinya, Yuki dan Devin bertemu di sebuah kafe, kali ini ada pembahasan khusus. Bukan apa-apa, memang sengaja dikhususkan untuk pertemuan malam itu. Sengaja Devin, yang memberikan diskusi tidak membocorkan topiknya.
Bro, gue akan membahas yang khusus, membahas tentang sesuatu yang di sebut sahabat menjadi kekasih. Sebenernya kejadian ini udah betul-betul menimpa saudara kita, Gilang dan Vanno, yang ternyata bersaing memperebutkan Annisa.”
“Iya, sebenernya ini udah bener-bener nggak wajar. Cuma hanya satu wanita, dua orang mampu bersaing untuk mendapatkannya. Ini nggak banget kalo menurut gue,” ucap Yuki.
“Gimana caranya nih agar mereka nggak saling rebutan satu cewek? Padahal Annisa nggak nyimpen rasa sama Vanno. Dia itu hanya kenal sama Gilang doang, jadi memang dia paling-paling suka sama Gilang. Itu sih pendapat gue, Yuk,” kata Devin.
“Gini aja, gimana kalo si Gilang kita pertemukan aja sama Annisa. Kalo soal tempat dan waktunya, lu atur aja sebisanya ya. Kalo soal Vanno, biar gue yang urus. Gue bakalan kenalin dia sama Lia, temennya Annisa. Lu setuju nggak?”
“Sip! Setuju,” tutup Devin.
Akhirnya, mereka sepakat untuk menjalankan strategi yang dibuat agar Annisa tak menjadi bahan rebutan dua sahabat mereka, Gilang dan Vanno. Entah strateginya berhasil atau tidak.
Mereka mengakhiri obrolan yang singkat di kafe itu dengan keyakinan bahwa mereka akan menjalankan strategi itu.


Lembaran 9
Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Mencoba lupakan, tapi aku tak bisa
Mengapa begini?
Lirik lagu dari Monita Tahaleea ini masih mengiang-ngiang di telinga Gilang saat ini. Ia yang memikirkan Annisa, tapi ia tak pernah banyak mengharap lebih. Mungkin lirik lagu itu pas buat menggambarkan dirinya yang galau dan terus galau. Sudah beberapa hari ia masih memikirkan Annisa. Ia berusaha melupakan keinginannya itu, tapi tidak pernah bisa. Ibarat mengharap lebih, ia bertanya pada diri sendiri: aku pengen lupakan semua angan-anganku tentang dia, kenapa tidak bisa?
Ia merenung, ia masih sekedar berharap. Apa yang terbesit dibenaknya, pasti kesampaian, termasuk untuk menjadi kekasih Annisa, dan tidak menganggap sebagai sahabat lagi seperti dulu. Sudah saatnya ia mengubah kesan itu menjad spesial. Menatap langit Jakarta yang cerah, mencoba sejenak melupakan kegalauan yang ada di hatinya saat ini. Menanti penantian yang diharapkan.
Seketika HP-nya berdering, kali ini SMS dari Devin,
“Gilang, gue pengen ketemuan sama lu, di Kafe Abadi, jalan MH Thamrin 14 jam 7.30 malam. Jangan lupa dateng ya!”
Ia heran, mengapa Devin mengajaknya ketemuan di kafe? Ia tak menghiraukan tanyanya sendiri. Dan ia mau datang atas ajakkan Devin.
Sementara itu, Annisa masih berulang kali mendengarkan lagu Siti Nurhalizia yang berjudul “Janji”, ia tergelitik dengan salah satu bait lagunya yang ia dengarkan
Sungguh kau tak pandai menimbang rasa
Karena janjimu diriku tersiksa
Seketika ia membayangkan jika nantinya ia dicap tak bisa menimbang rasa cinta itu. Ingkar janji. Itu yang dipikirannya. Ia tak kepincut dengan sebab akibat dari lirik lagu itu, ia terus asyik mendengarkan lagu itu hingga selesai untuk yang kelima kalinya sejak ia putar dua puluh menit lalu.
Sama halnya seperti Gilang, HP-nya Annisa berdering, yang meng-SMS-nya adalah Yuki
“Annisa, saya mau ketemuan sama kamu, di kafe Abadi, Jalan MH Thamrin 14, jam 7.30 malam. Ada kejutan buat kamu. Jangan lupa dateng ya, Nis J
Ia kaget, mengapa Yuki ingin mengajak ketemuan di kafe semahal itu? Dengan keheranan, ia berkata dengan mangut-mangut. “Aneh, kok Yuki SMS suruh ketemuan di Kafe Abadi yang mahal itu? Kenapa mendadak banget? Ah, ya udah lah dateng aja. Mungkin aja ada yang mau diomongin,”
 Akhirnya, Annisa mau datang nanti malam.
Tepat jam 7.30 malam, Annisa datang, disusul dengan Gilang yang datang beberapa menit kemudian. Lalu ada seorang pelayan yang menunjukkan tempat duduk untuk mereka.
“Selamat datang, nona Annisa. Silahkan tempati meja nomor 8,”
Dan ada Gilang duduk di tempat yang sama, dan Annisa tak heran dengan hadirnya Gilang di meja itu.
“Hai, Annisa,”
“Hai, Gilang, kamu kok makan disini? Kayaknya kita janjian tempat ya?”
“Nggak tahu, soalnya aku diajak Devin, tapi dia belum kemari. Kamu juga diajak siapa kesini?”
“Aku diajak Yuki, ke tempat yang sama, tapi dia juga belum kesini ..”
“Berarti kita sama-sama nungguin dong nih?”
“Iya, sama,” ujar Anissa mesem-mesem.
Mereka akhirnya memesan menu makanan yang ada di daftar menu. Porsi makanan mereka sedikit, tak banyak. Karena harga makanan di kafe ini lumayan mahal. Alhasil mereka memilih menu yang agak terjangkau. Sambil menyantap makanan yang disajikan, mereka ngobrol hangat. Membicarakan soal buku laris karya Merry Riana.
“Nis, kamu kayaknya lagi pucat gitu ya? Nggak pake make up?”
“Aku nggak biasa dirias, jadi modalnya hanya lip gloss doang,” ujar Annisa tersenyum.
“Oh ya, kamu udah baca kumpulan kisah inspiratif Merry Riana?”
“Udah, kenapa?”
“Nggak, kali aja kamu nggak tau buku terlaris itu .. hahaha.”
“Bisa aja deh kamu,”
“Itu harganya pas banget buat kantong mahasiswa kayak kita,”
“Bener banget, Gilang. Itu juga isinya berbobot. Nggak bakalan bosen bacanya deh.”
Nampak obrolan mereka sangat akrab, konteksnya seperti sahabat yang menghabiskan waktunya untuk berdiskusi di kafe atau restoran. Melihat dari kejauhan, Devin dan Yuki tersenyum manis melihat kemesraan mereka. Dua orang itu sepakat untuk menjauhkan Annisa dari Vanno yang makin hari makin menjadi-jadi memikirkan Annisa terus-terusan.
Akhirnya berlanjut hingga selesai. Menjelang tengah malam mereka menghabiskan malam itu. Tanpa satu nama: Vanno. Yang mungkin kalau dia ada di tengah-tengah mereka, pasti akan kacau karena ini adalah strategi Devin dan Yuki untuk tidak pertemukan Annisa dengannya. Dua orang itu tengah menyiapkan segala sesuatunya untuk mempertemukan Vanno dengan Lia.


Lembaran 10
Waktu terus berlalu, rasa bosan terus melanda. Gilang seakan merasakan itu. Konteks hubungannya dengan Annisa hanya sebatas teman dekat saja. Itu pun kalau sedang dipertemukan dalam satu tempat yang sama. Ia ingin utarakan rasa suka sama Annisa, tapi ia bingung persis kapan ia akan menyatakannya. Antara takut dan was-was, ia masih memikirkan waktu yang pas untuk mengatakannya.
Tapi, ada satu yang mengganjal, ada orang yang merasa tersakiti, nama itu adalah Vanno, sahabatnya sendiri. Sebelum mengagumi sosok Annisa, ia sudah tahu sejak awal sosoknya itu. Itu yang sepintas keluar dari mulutnya sendiri soal Annisa. Ia tak gegabah begitu saja, ia ingin Vanno bisa menghargai dan menerima dengan ikhlas Annisa menambatkan hati untuk dirinya. Gilang Sulaiman. Ia berharap, pada pertemuannya kali ini, Vanno mau terima apapun yang dihadapkannya, meski Annisa sekalipun.
Malam itu, Gilang memutuskan untuk tidak kemana-mana. Hanya di rumah saja. Entah berbuat apa selagi tidak keluar rumah. Segeralah ia menuju meja telepon, menekan nomor telepon Annisa. Dan akhirnya tersambung, mereka bicara banyak layaknya pacaran via sambungan telepon.
“Halo, Annisa ya?”
“Iya, ini siapa ya?”
“Tetangga kamu,”
“Gilang? Oohh, itu kamu. Ada apa kamu telepon?”
Gilang ingin bicara tentang rasa suka yang tumbuh dari dalam hatinya. Ia ingin ke rumah Annisa yang hanya selangkah saja dari rumahnya.
“Kamu nggak kemana-mana ‘kan? Aku boleh ke rumah nggak?”
“Nggak kok, mau ngapain kamu ke rumahku? Ada sesuatu yang penting?”
“Panjang ceritanya, nanti dijelasin kok. Boleh ‘kan?”
“Ya udah, kamu tinggal jalan aja. Cuma selangkah ini,”
“Hmm, oke,”
Tak lama, Gilang sampai di rumah Annisa. Kala itu, hanya Annisa saja yang berada di rumah. Sementara Fitri tengah pergi mengaji bersama ibu-ibu kompleks di Masjid Raya yang tak jauh dari rumah. Mereka berlanjut ke dalam obrolan yang sempat dijanjikan.
“Kamu mau ngomongin apa? Kayaknya penting,”
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, boleh?”
“Boleh aja, aku siap mendengarkan,”
“Aku suka sama kamu,”
Annisa kaget, berusaha mencerna kembali perkataan yang Gilang ucapkan. Ia bingung, antara mau terima atau tidaknya. Menempatkan posisi mau menerima ‘lamaran’ cinta dari Gilang. Tapi, ia tak egois. Ia mau menjawab. Annisa tersipu malu, saat kata itu mendarat di hatinya yang terdalam. Tak mampu lagi ia berkata-kata, bahwa Gilang serius suka dengannya.
“Serius kamu suka sama aku?”
“Iya, aku sangat serius,”
“Yakin?”
“Sangat yakin,”
Malam itu terasa spesial. Bukan apa-apa, karena Gilang menyatakan perasaanya sesuai dengan strateginya. Sungguh malam yang sangat bagus untuknya. Tak sia-sia menyatakannya.
Sementara itu, Vanno memutuskan untuk makan malam sendirian di sebuah restoran kawasan Kelapa Gading, ia sengaja memilih menu sangat sedikit untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. Bermodalkan dua puluh lima ribu rupiah saja, ia sudah kenyang dan puas. Di sela-sela menyantap makanan yang sudah dipesan, tak sengaja ia melihat Lia dan menyapanya.
“Hai, Lia.”
“Vanno ya? Wah, apa kabarnya?”
“Hmm, kabar baik, tumben makan disini?”
“Saya kesini sama ortu, karena mau ngerayain ultah adik saya. Kamu kok sendirian? Mana tiga sahabatmu yang selalu setia menemanimu?” tanya Lia.
“Lagi nggak ngumpul dulu. Mau jalani kesibukkan masing-masing,” jawab Vanno.
“Loh? Kenapa?” ekspresi Lia berubah keheranan.
“Ya, kita memang lagi nggak ngumpul kalo udah tanggal tua. Ya nanti kalo awal bulan baru ngumpul lagi,” ujar Vanno dengan wajah setengah datar.
“Hmm, oke. Oh ya, kamu lagi deket sama Annisa?” Lia bertanya kembali.
Perkataan Lia membuat Vanno bak tersambar petir di siang bolong. Tapi, ia berusaha untuk tidak menjawab. Namun, Lia terus mendesak sampai akhirnya dijawab.
“Kok nggak djawab?”
“eee .. nggak kok, hanya temenan aja,”
“Yakin? Padahal Gilang berpotensi untuk dapetin hatinya Annisa,”
“Hmm, gitu,” gumam Vanno. “Lagipula saya cuma kagum aja sama Annisa, bukan karena modus atau apa, saya kagum sama dia,”
“Oke, saya paham,” gumam Lia pendek, “Vanno, besok ketemuan yuk,”
“Ketemuan dimana? Kalo besok, saya mau tanding futsal sama Tim Scudetto,”
“Pagi aja jam sembilan, emang tanding jam berapa?”
“Jam tujuh malam, ada apa ketemuan?”
“Ada deh, pokoknya besok tunggu kejutannya,” kata Lia dengan senyum.
“Oke deh,”
Vanno tak menaruh curiga pada keinginan Lia. Ia mau bertemu pada esok hari.
Keesokan harinya, Lia harus menepati janjinya dengan Vanno. Bertemu di sebuah tempat, seperti yang ia janjikan pada semalam. Entah mau membicarakan apa. Ini aba-aba dari Devin dan Yuki, rencana ini sudah dibicarakan sejak sebelumnya. Sehingga rencana ini tidak akan bocor. Tujuannya hanya satu, menjauhkan Vanno dari Annisa karena Gilang sudah berpotensi. Pertemuan itu dilakukan di sebuah kafe yang sudah buka pukul tujuh tiga puluh.
Disaat yang bersamaan, ternyata Annisa berada di kafe itu. Lia jelas kaget, yang ia mesti lakukan adalah mengajak Annisa berbasa-basi sambil menikmati sarapan yang dipesan. Tanpa menceritakan yang sebenarnya kedatangannya untuk bertemu Vanno.
“Hai, Annisa,”
“Lia? Kamu sarapan disini?”
“Iya, mau aku traktir sarapan?”
“Nggak usah, aku bisa beli sendiri,”
“hmm gitu, oh ya kamu udah dapet surat tugas dari Bu Meisya tentang tugas mengumpulkan sampel novel dan sastra lama?”
“Belum. Aku belum tanya soal tugas itu, emang kamu dapet suratnya?”
“Udah, tapi jatahku banyak dibanding yang lain termasuk kamu,”
“Hmm, oke. Sabar ya, Lia.”
“Makasih, cantik.”
Dan disaat itu pula, Vanno tiba di tempat itu. Sekilas ia melihat Annisa yang bersama Lia. Tapi, tali sepatunya terlepas dan segera menyimpulnya. Sementara Annisa ingin pergi ke toilet dan meninggalkan Lia yang tengah duduk menyeruput kopi espresso. Tak lama, Vanno bertemu dengan Lia di tempat yang dijanjikan.
“Hai, Lia. Tadi aku lihat ada Annisa ya? Kemana dia?”
“Oh .. Annisa? Dia lagi ke toilet, katanya dia pengen buang hajat kali. Dia memang kadang-kadang suka BAB tiba-tiba. Hehehe ..”
“Hmm gitu,”
“Duduk dulu, Vanno. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,”
“Mau ngomong apa, Lia? Kayaknya penting banget,”
“Vanno, aku suka sama kamu.”
Vanno terdiam. Mengusahakan mencerna kembali semua apa yang dikatakan Lia tadi. Mungkin di pikirannya barangkali: mengapa Lia begitu banget suka sama gue? padahal gue sama dia baru ketemuan kemaren. Gua curiga!. Tapi, ia berusaha tidak meresponnya dengan agresif. Yang pasti, ia sudah dapat penggantinya Annisa.
“Serius kamu suka sama aku? Padahal aku baru kenal kamu tuh kemaren,”
“Iya, aku beneran suka sama kamu. Kacamata kamu yang membuatku terpana.”
“Ya ampun! Jangan karena kacamataku yang membuatmu terpana dengan aku. Tiiidddaaaaak!”
“Hahahaha,, jangan teriak kayak orang gila gitu dong! Aku sungguh menyukai kamu,”
Sekembalinya dari toilet, Annisa terkejut melihat Vanno sudah bersama Lia. Ia heran, kenapa Vanno tahu keberadaan Lia? Entahlah, ia tak menaruh curiga sedikitpun. Ia lantas menghampiri mereka.
“Vanno? Kamu kok disini? Ada janji sama Lia?”
“Nggak kok, aku hanya ketemuan aja sama Lia.”
“Bahas apaan?”
Vanno tidak menjawab, sampai akhirnya Annisa terus mendesak agar mau menjawab.
“Bahas apaan, Vanno?”
Lia menjawabnya, “Ini, dia pengen ngajakin aku ke sebuah taman bunga yang di kawasan Sunter. Itu spot favoritku disana,”
“Oh gitu, jangan-jangan kalian sama-sama suka nih?”
Spontan wajah Vanno dan Lia memerah. Ia tak menyangka Annisa mampu menjawab perasaan masing-masing.
“Ya udah, Lia, Vanno, aku pamit pulang dulu, mau bantuin ibu ngurus katering,”
“Mau aku anterin nggak?” tanya Vanno.
“Nggak usah, Vanno. Aku bawa motor kok, ‘kan lagipula kafenya sama rumahku lumayan dekat kok.” jawab Annisa.
“Hmm, oke,” ucap Vanno.
Bye, Lia, Vanno,” ujar Annisa tersenyum.
Good bye, Annisa.”
Akhirnya Vanno dan Lia resmi jadi sepasang kekasih. Semula Devin dan Yuki ingin melihat momen yang paling ‘langka’. Tapi, karena mereka sedang dikejar deadline dari dosen. Momen ini terlewatkan. Dan nantinya mereka yang bertanya sendiri pada Vanno. Seakan mereka pura-pura tidak tahu kalau mereka menjodohkan Lia dengan Vanno.

Lembaran 11
Agenda kencan Gilang kali ini mengajak Annisa jalan-jalan ke sebuah taman bunga yang berada di kawasan Sunter. Walau bukan pada malam hari, ia sengaja mengajaknya pada sore hari sekitaran jam 3. Udara panas dan terasa membakar, tak menyurutkan niatnya untuk berkencan dengan Annisa. Sementara Vanno juga punya agenda yang sama dan tempat yang sama. Tapi, ini yang membuat Gilang tak tahu nantinya mereka bertemu di kesamaan tempat.
Setelah menjemput Annisa dari rumah, mereka bergegas menuju tempat yang diniatkan. Di tengah-tengah kencan mereka melihat sekumpulan bunga yang indah dan enak dipandang. Sama dengan Gilang yang memandangi Annisa dengan sejuknya. Obrolan singkat pun terjadi.
“Gilang, bunganya bagus banget. Aku suka sama warnanya yang cerah,”
“Iya, sama seperti aku melihat pesonamu yang cerah dan cantik,”
“Bisa aja deh kamu memujiku kayak gitu,”
“Oh ya, mau aku belikan bunga?”
“Hmm,, boleh,”
Gilang membelikan setangkai bunga mawar, dan tak lama, ia kembali dan duduk di sebelah Annisa. Ia senyum sejenak dengan Annisa dan langsung mengucap kata-kata mutiara cinta. Inilah saat yang tepat untuk mengutarakan perasaanya pada Annisa.
“Annisa, jujur, aku sangat mencintaimu bagai kamu menganggapku bagai sahabat yang begitu menyukai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan aku juga pengen, hubungan ini terus lanjut hingga kita bisa melangkah ke yang lebih serius lagi. Kamu mau menjadi pacar aku?”
Annisa terharu mendengar kata yang diucap Gilang tadi. Tapi ia sangat tersanjung dengan kata yang manis itu. Dan akhirnya ia mau berucap.
“Aku ... mau jadi pacar kamu,”
Disaat yang bersamaan, Vanno dan Lia datang melihat pendeklarasian cinta yang dilakukan Gilang dan Annisa.
“Wah, aku senang deh akhirnya kalian bisa saling mencintai,” sambut Lia dengan hangat.
“Iya, aku juga sangat senang bila kalian mampu mengutarakan perasaan kalian. Dan aku juga minta maaf ya sama kamu, Nis, atas kesalahanku sama kamu karena mengagumimu yang berlebihan,” ucap Vanno dengan panjang lebar.
“Aku sudah maafin kamu kok. Dan aku juga senang kalian akhirnya pacaran,” kata Annisa dengan tersenyum manis.
Bro, selamat ya!” ucap Gilang sambil menjabat tangan Vanno dengan senyum lebar.
Begitu pula Devin dan Yuki yang datang pada saat yang sama pula. Keempat sejoli ini kaget luar biasa melihat kedatangan mereka yang tiba-tiba.
“Horee,, akhirnya kita bisa lihat dua sahabat kita menjalin asmara sama dua wanita yang sangat cantik ini. Selamat ya!” ucap Yuki dengan senyum sumringah.
“Mantap banget, Bro. Gue udah paham semua ini. Antara saling suka itu sulit dielakkan. Bahkan dengan sahabat sendiri yang saling mengagumi,” kata Devin dengan bijak.
“Terimakasih, ya, sahabatku, hahaha ...” ucap keempat sejoli ini dengan tawa yang riang.
Dan akhirnya, GiDeKiNo berpelukan. Ada tangis haru menandai persahabatan yang sangat awet ini. Annisa dan Lia menatapnya dengan bahagia. Dan akhirnya mereka pun berbahagia dengan penuh kehangatan. Sahabat barangkali bisa berubah menjadi sebuah cinta jika salah satunya mempunyai rasa saling menyukai dan tertanamnya cinta di lubuk hati masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar