Teman, bagaimana rasanya jika sahabatmu, yang
menjadi tumpuan keluh kesahmu ternyata selingkuh dengan orang yang sangat kamu
cintai? Atau kalau sahabatmu nekat membuat ‘cinta terlarang’ dengan pasangan kita?
Inilah yang aku alami selama ini. Aku serasa dicampakkan begitu saja. Tanpa
kabar. Tanpa pesan kalau aku dan dia telah putus. Mau dibilang kejam, salah,
mau dibilang tega, juga salah. Tidak keduanya.
Aku lalai
dalam menjaga cinta itu. Bahkan kau tak pernah bertemu denganku ketika di suatu
kesempatan. Semua karena kau berpaling dariku dan memilih yang lain. Rasanya
sangat sakit luar biasa. Aku ingin melampiaskan semuanya dengan caraku sendiri,
namun ku urungkan. Aku harus menang menghadapi situasi seperti ini. Modal
utamaku hanya sabar dan terus bersabar.
Kejadian ini sekitar beberapa tahun silam. Saat
kami merajut cinta yang sangat mesra. Tidak ada belenggu sedikitpun. Tapi,
semuanya sudah buyar tak bersisa saat orang lain hadir dalam kisah kami. Cinta
segitiga itu dibentuk. Diam-diam ia berdusta padaku. Ia memilih dia yang
jelas-jelas tidak mengenalku. Padahal, aku ini sahabatnya. Aku sulit menerima
cinta seperti ini.
Keegoisan
dia muncul, saat ia bilang bahwa dia dan sahabatku hanya berteman. Tapi, kenyataannya?
Ia diam-diam menusuk dari belakang. Ia tanpa sungkan-sungkan menggenggam tangan
sahabatku dengan mesra di hadapanku. Sahabatku hanya tersenyum licik melihatku
menangis dan menderita. Sahabatku seakan menari-nari diatas penderitaan aku.
Namun, sekali lagi modal utamaku dalam hadapi semua ini. Sabar dan tawakal.
Suatu saat pasti akan ada balasannya.
Suatu ketika, delapan bulan setelah menikmati
cinta terlarang itu. Mereka akan menikah. Restu dari kedua orang tua mereka
sudah lengkap. Undangan sudah disebar. Dan aku menerima undangan itu, dengan
tangisku yang tertahan di dalam hati. Tapi, aku berharap dalam hati yang
terdalam agar pernikahan itu tidak terjadi. Lagi-lagi ku urungkan lantaran aku
tahu diri. Aku diputus secara sepihak olehnya karena selingkuhannya. Aku
mengelus dada dan berdoa agar mereka mendapat balasan yang semestinya.
Aku tahu, memang ini bukan saatnya untuk
mengharapkan cinta itu kembali ke hadapanku lagi. Meski entah kapan itu
terjadi. Lalu, bagaimana dengan ikrar pemutusan sepihak yang kau kasih? Kau
lupa. Kau yang memilih berpaling ke yang lain selain aku tanpa kasih tahu aku
sebelumnya. Dan sekarang, kau malah berbahagia dengannya dan bahkan kau
mengundangku pada pernikahanmu nanti. Ada kejutan apa di pesta bahagiamu nanti?
Kau mempermalukan aku dengan cara berpelukan mesra dengan pasangan barumu.
Bagaikan serigala berbulu domba. Kau memperhitungkannya dengan matang.
Perlu mereka tahu, aku selama ini terus menyimpan
gejolak amarah ketika kalian menyatakan cinta terlarang itu. Namun, tidak harus
melampiaskannya hingga berujung. Kucoba bertahan dengan kondisi seperti ini.
Walau nantinya pernikahan itu akan terjadi.
Namun, benar dugaanku, pernikahan itu tidak
terjadi. Saat kekasih lama sahabatku membatalkan pernikahan dia dengan kekasihku,
aku tak menyangka, pernikahan terlarang itu yang semula akan hikmat berakhir
dengan duka. Sahabatku dibunuh oleh kekasih lamanya itu yang ternyata mengalami
gangguan mental sampai mati. Sementara kekasihku hanya tidak bisa berbuat
apa-apa, ia masih trauma dengan pembunuhan yang baru ia saksikan itu. Entah
karena ia sebelumnya pernah mengalami trauma yang berlebihan terhadap
pembunuhan. Tidak sampai gila, ia hanya perlu menjalani perawatan khusus di
rumah sakit jiwa.
Saat aku
melihatnya tidak berdaya di ruang perawatan, aku menangis. Aku tidak menyangka
ia begitu menderita karena cinta yang menurutnya ‘suci’ itu berakhir tragis.
Padahal ia mencampakkanku dengan sangat jahat. Tapi, inilah konsekuensinya.
Menerima kegagalan yang sangat sakit dan teramat sakit akibat dampat cinta
terlarang. Sekali lagi, aku menangisi kekasihku yang menderita, tiada yang
dapat menyembuhkan traumanya karena cinta itu. Inilah yang disebut sebuah ironi
cinta yang terlarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar