Pagi itu, di hari Minggu
bulan Agustus, seorang sahabat datang ke rumahku. Saat aku tengah mengerjakan
makalah progres Hukum Negara. Entah tujuannya untuk apa. Memberikan satu amplop
berisi surat. Sekilas aku melihat alamat tujuan surat itu:
Jalan Cimande Raya 47 Blok F40/55 RT 11/11, Jakarta.
Aku bertanya pada sahabatku
ini, “Surat ini mau dikirim sekarang?”
“Iya. Tapi, aku nggak berani
kasih surat ini ke alamatnya.”
Aku terheran setengah mampus,
“Kenapa?”
“Soalnya aku lagi kasmaran
sama cowok yang aku kenal lewat Twitter. Namanya Aldo. Anak Institut
Muhammadiyah. Pokoknya aku suka banget sama dia.”
“Terus, siapa yang mau kirim
surat ini?”
“Kamu aja, ya,”
Ha? Aku yang disuruh kirimin
surat itu? Padahal jelas-jelas aku nggak tahu yang mana orangnya. Sambil kebingungan,
aku menjawab,
“Lho, kenapa harus aku?”
“Iya. Tolong, ya, please.”
“Kenapa nggak kamu aja, sih
yang kirim suratnya? Aku lagi banyak kerjaan, nih!”
Tetapi, sahabatku terkesan memaksa,
ia merengek,
“Ayolah, aku minta tolong
kamu.”
Menghela nafas dan sedikit
mengangkat bahu, aku pun akhirnya mengiyakan keinginan sahabatku itu.
“Iya, deh. Kalo nyasar kamu
yang harus tanggung jawab.”
“Oke. Kamu nanti balik lagi,
ya, kesini.”
“Yaaaaaa ....”
Akhirnya aku pergi ke alamat
itu. Kalau dipikir-pikir, alamatnya saja nggak jauh-jauh dari sini. Palingan hanya
1,5 kilometer dari rumahku. Dan ... eng
ing eng! Ketemu juga alamatnya. Beratap kerucut. Putih silver yang
menghiasi dinding rumahnya. Tingkat tiga. Ya, inilah rumah yang sebenarnya
menjadi tujuan sekaligus kesempatan yang seluas-seluasnya untuk menggaet cowok
itu. Lagipula, kan, aku lagi tidak punya pacar alias jomblo. Sekali lagi,
JOMBLO (pakai capslock biar mantap). Dan, di situ pula aku punya niatan untuk
membatalkan misi temanku itu untuk kasih surat itu. Suratnya? Aku simpan, tapi
simpannya di tempat yang lebih strategis. Tempat sampah.
Saatnya ... aku kenalan
dengan cowok itu. Sekilas dia tinggi. Menarik. Dahulunya mantan atlet taekwondo
tingkat propinsi. Punya segudang napak kilas dalam kehidupannya yang bisa
dibilang, WOW! SUPER SEKALI ORANG INI!
Namanya Aldo Daifulloh Sagala.
Dia asli Batak. Ada darah Jawa yang berasal dari keturunan ibunya. Pokoknya ini
orang menarik banget! Dan terkadang aku suka terkekeh melihat isi rumahnya yang
megah nan anggun itu. Besar dan luas! Aku terkesiap setengah mati untuk
memasuki rumahnya. Secara, aku ‘kan baru kenal sama orang ini.
Aku sengaja berbasa-basi
dengan cowok ini, tujuannya biar akrab,
“Kenalin, aku Meliana
Karimma. Oh, ya, kader Muhammadiyah juga, ya?”
“Kok tahu?”
“Soalnya aku waktu sekolah
juga kader Muhammadiyah. Dari TK sampai SMA, selalu pilih Muhammadiyah. Kalau kamu?”
“Hmmmmm ...” kelihatannya
Aldo belum siap dengan respon yang diberikan. Namun, ia melanjutkan, “Sebenarnya
aku dulunya kader, tapi hanya sampai SMA tok. Jadinya, aku tahu, lah tentang
Muhammadiyah.”
Wah,
asyik sekali orang ini. Jadi lengket kalau ada disampingnya. Aku pun berpikir demikian. Tidak peduli
dengan semua gejolak cemburu dan sepertinya misiku ini nggak bakalan ketahuan
nanti.
“Sebelumnya, kamu tahu dari
siapa sosok saya?”
“Dari temanku, lewat Twitter.
Kalo nggak salah namanya @nina_firdaus.”
Sejenak, ia berfikir, ia tahu
akun twitter itu.
“Oh, ya, dia itu sering
posting foto selfie-nya yang
kelihatannya agak berlebihan gitu.”
Hahahaha
... ternyata dia berani memberikan kejujuran yang meledak-ledak di dalam momen
itu. Pikirku dalam hati
(lagi). Dan, kelihatannya dia kurang suka dengan sahabatku yang satu itu. Selain
norak, dia memang terkadang “alay” yang benar-benar bego.
Aku langsung saja memberikan
sebuah kata. Kata yang berambisius. Aku suka
padamu. Dan, dia reaksinya agak terheran-heran gitu, deh. Tapi, kemungkinan
dia bakalan lebih suka kalau aku mau serius pacaran sama dia. Oke, deh, bos!
Dua jam berada di rumah “megah”
itu. Aku kembali ke rumah. Mengabarkan pada sahabatku yang sepertinya hampir botak
menunggu aku sekian lamanya.
“Eh, gimana suratnya? Udah dikasih
ke orangnya?”
Bagus! Langsung saja ke
intinya, ia bertanya yang menurutku pertanyaan yang menarik untuk dijawab
sesuai fantasiku sendiri. Sambil senyum tidak tertahankan, aku berkata,
“Aldo-nya nggak ada di rumah.
Lagi latihan taekwondo katanya. Jadi, suratnya aku titipin ke tetangganya yang
bapak-bapak umur 60 tahunan dengan jenggot panjangnya dua senti dan kumis
sampai nutupin mulut. Dan bilang, nanti dikasih kalau dia-nya udah pulang.” Aku
berbicara tanpa jeda. Tanpa atur nafas.
“Ooo ... gitu, berarti aku
ngirimnya nggak pas, deng, waktunya?”
“Sebenarnya udah pas, tapi,
karena orangnya lagi ada kegiatan, dan ada bapak-bapak yang mau menitipkan, ya,
jadinya aku kasih dan langsung memberitahukan kalo dia udah balik.”
Dia menganggukan kepala. Sudah
dapat dimengerti kalau dia percaya bahwa suratnya bakalan direspon sama Aldo. Dan,
inilah saatnya aku bilang padanya,
“Jadi, tugas mak comblang aku
udah kelar?”
“Udah. Makasih banget. Kamu emang
teman yang ngerti kesulitan aku. Sekali lagi, makasih.”
Aku menepuk tangannya itu. Tos!. Setelahnya, karena waktu sudah
menunjukkan jam lima sore, dia pamit sambil berekspresikan senyum lebar yang
manis. Aku mengunci pintu. Tertawa sebebas mungkin. Ingin rasanya aku loncat-loncat
kegirangan bahwa AKU DAPAT PACAR YANG SEBELUMNYA UDAH DIAMBIL SAHABATKU. Menunggu
saat pertemuan selanjutnya itu tiba!
Sekali, dan sekali lagi,
aku tidak bermaksud jahat pada sahabatku sendiri. Tapi, aku terheran sama dia. Kalau lagi kasmaran sama seseorang, ungkapkan
aja cintanya langsung. Ajak ketemuan, kek, teleponan kek, nggak usah
ngumpet-ngumpet gitu. Untuk hal ini kenapa kamu suruh aku buat ngasih surat
itu? Itulah kesalahanmu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar