Selasa, 23 Desember 2014

Mak Comblang

Pagi itu, di hari Minggu bulan Agustus, seorang sahabat datang ke rumahku. Saat aku tengah mengerjakan makalah progres Hukum Negara. Entah tujuannya untuk apa. Memberikan satu amplop berisi surat. Sekilas aku melihat alamat tujuan surat itu:

Jalan Cimande Raya 47 Blok F40/55 RT 11/11, Jakarta.

Aku bertanya pada sahabatku ini, “Surat ini mau dikirim sekarang?”
“Iya. Tapi, aku nggak berani kasih surat ini ke alamatnya.”
Aku terheran setengah mampus, “Kenapa?”
“Soalnya aku lagi kasmaran sama cowok yang aku kenal lewat Twitter. Namanya Aldo. Anak Institut Muhammadiyah. Pokoknya aku suka banget sama dia.”
“Terus, siapa yang mau kirim surat ini?”
“Kamu aja, ya,”
Ha? Aku yang disuruh kirimin surat itu? Padahal jelas-jelas aku nggak tahu yang mana orangnya. Sambil kebingungan, aku menjawab,
“Lho, kenapa harus aku?”
“Iya. Tolong, ya, please.”
“Kenapa nggak kamu aja, sih yang kirim suratnya? Aku lagi banyak kerjaan, nih!”
Tetapi, sahabatku terkesan memaksa, ia merengek,
“Ayolah, aku minta tolong kamu.”
Menghela nafas dan sedikit mengangkat bahu, aku pun akhirnya mengiyakan keinginan sahabatku itu.
“Iya, deh. Kalo nyasar kamu yang harus tanggung jawab.”
“Oke. Kamu nanti balik lagi, ya, kesini.”
“Yaaaaaa ....”

Akhirnya aku pergi ke alamat itu. Kalau dipikir-pikir, alamatnya saja nggak jauh-jauh dari sini. Palingan hanya 1,5 kilometer dari rumahku. Dan ... eng ing eng! Ketemu juga alamatnya. Beratap kerucut. Putih silver yang menghiasi dinding rumahnya. Tingkat tiga. Ya, inilah rumah yang sebenarnya menjadi tujuan sekaligus kesempatan yang seluas-seluasnya untuk menggaet cowok itu. Lagipula, kan, aku lagi tidak punya pacar alias jomblo. Sekali lagi, JOMBLO (pakai capslock biar mantap). Dan, di situ pula aku punya niatan untuk membatalkan misi temanku itu untuk kasih surat itu. Suratnya? Aku simpan, tapi simpannya di tempat yang lebih strategis. Tempat sampah.
Saatnya ... aku kenalan dengan cowok itu. Sekilas dia tinggi. Menarik. Dahulunya mantan atlet taekwondo tingkat propinsi. Punya segudang napak kilas dalam kehidupannya yang bisa dibilang, WOW! SUPER SEKALI ORANG INI!
Namanya Aldo Daifulloh Sagala. Dia asli Batak. Ada darah Jawa yang berasal dari keturunan ibunya. Pokoknya ini orang menarik banget! Dan terkadang aku suka terkekeh melihat isi rumahnya yang megah nan anggun itu. Besar dan luas! Aku terkesiap setengah mati untuk memasuki rumahnya. Secara, aku ‘kan baru kenal sama orang ini.
Aku sengaja berbasa-basi dengan cowok ini, tujuannya biar akrab,
“Kenalin, aku Meliana Karimma. Oh, ya, kader Muhammadiyah juga, ya?”
“Kok tahu?”
“Soalnya aku waktu sekolah juga kader Muhammadiyah. Dari TK sampai SMA, selalu pilih Muhammadiyah. Kalau kamu?”
“Hmmmmm ...” kelihatannya Aldo belum siap dengan respon yang diberikan. Namun, ia melanjutkan, “Sebenarnya aku dulunya kader, tapi hanya sampai SMA tok. Jadinya, aku tahu, lah tentang Muhammadiyah.”
Wah, asyik sekali orang ini. Jadi lengket kalau ada disampingnya. Aku pun berpikir demikian. Tidak peduli dengan semua gejolak cemburu dan sepertinya misiku ini nggak bakalan ketahuan nanti.
“Sebelumnya, kamu tahu dari siapa sosok saya?”
“Dari temanku, lewat Twitter. Kalo nggak salah namanya @nina_firdaus.”
Sejenak, ia berfikir, ia tahu akun twitter itu.
“Oh, ya, dia itu sering posting foto selfie­-nya yang kelihatannya agak berlebihan gitu.”
Hahahaha ... ternyata dia berani memberikan kejujuran yang meledak-ledak di dalam momen itu. Pikirku dalam hati (lagi). Dan, kelihatannya dia kurang suka dengan sahabatku yang satu itu. Selain norak, dia memang terkadang “alay” yang benar-benar bego.
Aku langsung saja memberikan sebuah kata. Kata yang berambisius. Aku suka padamu. Dan, dia reaksinya agak terheran-heran gitu, deh. Tapi, kemungkinan dia bakalan lebih suka kalau aku mau serius pacaran sama dia. Oke, deh, bos!
Dua jam berada di rumah “megah” itu. Aku kembali ke rumah. Mengabarkan pada sahabatku yang sepertinya hampir botak menunggu aku sekian lamanya.
“Eh, gimana suratnya? Udah dikasih ke orangnya?”
Bagus! Langsung saja ke intinya, ia bertanya yang menurutku pertanyaan yang menarik untuk dijawab sesuai fantasiku sendiri. Sambil senyum tidak tertahankan, aku berkata,
“Aldo-nya nggak ada di rumah. Lagi latihan taekwondo katanya. Jadi, suratnya aku titipin ke tetangganya yang bapak-bapak umur 60 tahunan dengan jenggot panjangnya dua senti dan kumis sampai nutupin mulut. Dan bilang, nanti dikasih kalau dia-nya udah pulang.” Aku berbicara tanpa jeda. Tanpa atur nafas.
“Ooo ... gitu, berarti aku ngirimnya nggak pas, deng, waktunya?”
“Sebenarnya udah pas, tapi, karena orangnya lagi ada kegiatan, dan ada bapak-bapak yang mau menitipkan, ya, jadinya aku kasih dan langsung memberitahukan kalo dia udah balik.”
Dia menganggukan kepala. Sudah dapat dimengerti kalau dia percaya bahwa suratnya bakalan direspon sama Aldo. Dan, inilah saatnya aku bilang padanya,
“Jadi, tugas mak comblang aku udah kelar?”
“Udah. Makasih banget. Kamu emang teman yang ngerti kesulitan aku. Sekali lagi, makasih.”
Aku menepuk tangannya itu. Tos!. Setelahnya, karena waktu sudah menunjukkan jam lima sore, dia pamit sambil berekspresikan senyum lebar yang manis. Aku mengunci pintu. Tertawa sebebas mungkin. Ingin rasanya aku loncat-loncat kegirangan bahwa AKU DAPAT PACAR YANG SEBELUMNYA UDAH DIAMBIL SAHABATKU. Menunggu saat pertemuan selanjutnya itu tiba!
Sekali, dan sekali lagi, aku tidak bermaksud jahat pada sahabatku sendiri. Tapi, aku terheran sama dia. Kalau lagi kasmaran sama seseorang, ungkapkan aja cintanya langsung. Ajak ketemuan, kek, teleponan kek, nggak usah ngumpet-ngumpet gitu. Untuk hal ini kenapa kamu suruh aku buat ngasih surat itu? Itulah kesalahanmu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar