Sabtu, 31 Januari 2015

Istiqomah



Pagi itu, aku memulai bekerja di perusahaan periklanan swasta di Jakarta. Rasanya senang sekali mendapat pekerjaan itu. Dengan berbekal pendidikan S1 Komunikasi Massa, aku mendapat posisi strategis. Tak lama berselang, aku menemukan sesosok teman sekaligus tempat aku berkeluh kesah dan bercerita, namanya Endah. Kami berdua adalah muslim yang baik. Dan kami cocok satu sama lain dalam hal soal bisnis periklanan saat kami berdiskusi bersama. Kami seperti sahabat, bahkan seperti keluarga.
Tapi, sampai suatu ketika. Setahun setelah meniti karier, sebuah tragedi batin pun datang. Ada satu orang yang kurang suka dengan penampilanku yang sehari-hari menggunakan hijab, begitu pula dengan Endah. Yang dimaksud adalah direktur kantor kami, Pak Gusman, namanya. Beliau sangat benci terhadap segala yang berbau agama di kantornya. Betapa terkejutnya aku mendengar beliau menyuruhku untuk melepas hijab dan harus berpakaian internasional yang mencirikan perempuan karier yang sesungguhnya. Astagfirulloh ... mana mungkin aku menanggalkan pakaian yang sudah nyaman dan menjadi istiqomah buatku? Sementara Endah juga berpikiran demikian. Sungguh. Ini bagai bom yang meledak di saat yang kurang tepat.
Di hari berikutnya, aku mendapat ujian yang lebih berat lagi. Ketika aku izin istirahat sebentar untuk melaksanakan sholat Dhuha 4 rokaat, aku dan Endah dipanggil lagi oleh beliau. Betapa kalapnya beliau melihatku dan Endah meninggalkan setumpuk laporan iklan perusahaan hanya untuk melaksanakan ibadah yang menurutnya tidak penting dan bisa merusak kinerja perusahaan itu. Aku pun hanya bisa bersabar dan harus tetap istiqomah. Dibalik ini semua, pasti ada hikmahnya. Endah sampai punya pikiran kenapa ibadah sampai sebegitunya dilarang? Padahal ibadah itu wajib bagi yang menjalankan. Bersabar lagi menjadi kunci untuk bisa tetap bertahan dalam kondisi seperti ini.
Dan menurut beliau, aku dan Endah harus bisa mencontohkan pegawai perempuan yang bekerja di kantor itu, berpakaian yang sesuai dengan perkembangan mode dan zaman. Bayangkan, pakaian hanya jas dan kemben yang kelihatan belahan dada dan panjang roknya sampai sepaha itu, bisa dijadikan contoh wanita karier sesungguhnya? Masya Allah, kuatkanlah hambaMu ini.
Sampai pada suatu ketika, saat aku dan Endah selesai menunaikan ibadah sholat Ashar, tiba-tiba seorang pegawai mengajak aku dan Endah berbicara soal Pak Gusman di kantin kantor yang berada di belakang gedung. Betapa terkejutnya aku dan Endah mendengar cerita pegawai yang bernama Mbak Nana, ternyata Pak Gusman dibesarkan dari keluarga yang berbeda keyakinan. Serta sempat bersekolah di sekolah Katholik di daerah Surabaya sana sampai SMA. Sehingga kehidupan beragama beliau sangatlah kacau mengingat ia hidup dalam keluarga beda “jalur”. Dan tidak sempat menyelesaikan kuliah karena terputus akibat beliau sempat dipenjara selama tiga tahun terkait kasus penjualan obat-obatan terlarang. Kacaunya kehidupan Pak Gusman membuatku berpikir, inikah dampak dari mempermainkan dan membenci semua yang berbau agama? Mengapa sampai kacau kehidupannya? Dan seakan logikaku juga berpikiran sama. Begitu juga dengan Endah.
Delapan bulan kemudian, aku mendapat diskriminasi baru, yang ini memang terbilang cukup melecehkan. Istilahnya, sih, agak merendahkan. Hinaan dan cacian pun datang dari asisten direktur yang mengatakan bahwa aku harus menanggalkan pakaian muslimah dan hijab yang menurutnya tidak gaul, berlagak alim, dan sulit berbaur dengan karyawan wanita yang berpakaian fashionable dan glamour. Ya Allah, sampai berapa lama lagi aku harus mendapat diskriminasi yang sama? Tertunduk dan terkulai lemas. Mendengar dan mencerna cacian dan hinaan yang datang bertubi-tubi padaku.
Hingga pada akhirnya, pemecatan pun menjadi solusi terakhir Pak Gusman untuk mengusirku dan Endah dari kantor itu. Beliau memberikan alasan yang dibuat-buat, tentang cara pakaianku yang norak, tidak fashionable, jadul, semua alasan itu disebutkan satu-satu. Tanpa jeda. Tanpa berhenti. Dan tanpa spasi dan koma. Aku dan Endah hanya tertunduk malu berhadapan dengan atasan macam itu. Bahkan beliau sampai mengadu pada general manager yang berada di lantai 8 gedung itu. Astagfirulloh, sampai beginikah mereka memandang aku dan Endah sebegini rendahnya? Dan keputusannya, aku dan Endah dipecat dari kantornya. Kulihat Endah tampak tegar menghadapinya. Bagaimana bisa? Kenapa dia bisa jauh lebih tegar daripada aku? Kita berdua berkaca. Tanpa berkedip.
Setelah insiden yang membuatku dan Endah malu. Aku segera melaksanakan sholat Ashar di masjid kantor. Aku pun menangis sejadi-jadinya, khusyuk memanjatkan sholawat nabi dan lantunan ayat suci Al-Qur’an dan beistighfar tiga puluh tiga kali. Dan aku berdoa, semoga ada keajaiban dalam karierku, dan orang yang mendzolimiku diberikan hidayah dan inayah yang pantas dariMu.
Tiga bulan kemudian. 14 September. Usiaku bertambah. Aku, Endah, dan karyawan yang nasibnya sama denganku merayakan ulang tahunku dengan sederhana. Pengajian saja. Sekaligus santunan untuk anak yatim. Walau tak seberapa, setidaknya inilah yang bisa aku kasih kepada mereka. Bahkan aku mendapat doa dari pemilik panti asuhan yang berusia 45 tahun, yang intinya semoga orang yang tidak suka padamu akan berbalik sangka menjadi memuji padamu, bahkan mendukung apapun cara kamu menghadapi kesabaran dan ketabahan dalam bencana yang terjadi dalam kehidupan kamu.
Namun, peristiwa itu terjadi begitu cepat. Perusahaan tempat aku dan Endah bekerja. Mengalami turbulensi[1] krisis ekonomi yang hebat. Sahamnya anjlok. Defisit anggaran kantor membengkak. Aku terkejut tatkala berita di televisi yang terus menyudutkan kantorku yang dulu. Aku menangkap sekilas pernyataan dari stasiun televisi itu, “penyebab kebangkrutan perusahaan itu karena disinyalir akibat turbulensi atau hantaman ekonomi yang cukup tajam. Belum lagi, perusahaan itu memunculkan sejumlah kontroversi, seperti masalah cara berpakaian bagi kaum wanita yang bekerja di perusahaan tersebut ..” Begitu petikan yang sebisanya aku tangkap. Aku menelan ludah. Bagaimana media bisa tahu kalau masalahku ini dan Endah menyeruak ke permukaan? Aku teringat dengan apa yang dikatakan Mbak Nana. Bahwa, kehidupan Pak Gusman begitu hancur, sehingga agama tidak diprioritaskan. Mendengarnya seperti kaum atheis[2]. Tidak percaya akan keagungan Tuhan.
Aku bukan perempuan yang gampang senang dengan penderitaan orang. Aku prihatin mendengar berita yang semakin menyudutkan. Aku tengah membayangkan kantorku itu sebentar lagi akan mengalami satu masa yang tak sama sekali aku harapkan. Menunggu bom waktu dan chaos[3] yang siap meledak. Dan stagnasi[4] itu pun muncul. Aku menghela nafas yang panjang.
Dan setelah perusahaan itu bangkrut. Aku mendapat kabar dari Endah bahwa Pak Gusman telah meninggal dunia. Ia terserang stroke akibat terlalu memikirkan bagaimana caranya agar perusahaan yang ia bina bisa bebas melenggang dan terlewat dari hutang. Dan sebelum beliau wafat, istri dan anak bungsunya telah lebih dulu wafat. Penyebabnya adalah menjadi korban kebakaran sekolah di Surabaya sana. Tubuh keduanya hangus. Sulit dikenali. Kini, yang tersisa hanya anak sulungnya, Karina. Ia begitu terpukul mendapati ayahnya telah terbujur kaku di rumah sakit. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin itu ungkapan yang tepat bagi keadaan Pak Gusman dan keluarga. Begitu juga perusahaannya.
Aku mencoba menenangkan Karina yang masih sesenggukan tidak percaya bahwa ayahnya pergi begitu cepat untuk selamanya. Bagaimana mungkin bila ia yang selama ini menjadi penonton di bioskop kehidupan ayahnya pun ditutup karena penyakit yang sudah lama diderita dan dalam sekejap membunuh jiwanya? Aku pun berpikir, setelah kedua orangtuanya dan adiknya meninggal, bagaimana kehidupan Karina selanjutnya? Aku juga tidak tahu itu. Setahuku, Karina yang punya usaha sampingan sebagai pemilik kedai kopi dan online shop, setidaknya itu sudah cukup membiayai kuliahnya sampai selesai. Tanpa membebankan kedua orangtuanya lagi.
 Kini, aku pun mendapat hadiah yang besar. Aku diterima sebagai redaktur kuliner Halal di sebuah majalah wanita. Sementara Endah, ditempatkan sebagai redaktur kecantikan. Kita berdua tetap berkomunikasi dengan Karina, yang kini sudah menunggu waktunya wisuda. Menanyakan yang biasa ditanyakan “kamu kapan wisuda?”, “bagaimana skripsimu, ada kesulitan?”, “setelah kuliah, kamu mau teruskan karier atau mau lanjut S2?”, “online shop-mu ada diskon gede-gedean nggak?”. Serasa makin akrab bila hubungan ini dijaga sampai kapanpun.


 Aku bisa mengambil hikmah. Bahwa, sesungguhnya beristiqomah di jalan Allah, akan menghasilkan sebuah pelajaran. Bagaimana caranya bisa ikhlas dan tabah dalam menghadapi ujian kehidupan. Semoga dengan kisahku ini, menjadi satu pelajaran dan hikmah yang dapat dicerna sekaligus diamalkan. Aamiin Allahumma Aamiin.


[1]  Sebuah keadaan yang ditandai ketidakstabilan (disorder) dan keacakan (randomness) pergerakan di setiap skalanya. Turbulensi menarik komponen-komponen yang dipengaruhinya ke arah tertentu dan kemudian melepasnya secara tiba-tiba atau mengalami guncangan.
[2]  Sebuah pandangan filosofi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, istilah ini adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.
[3]  Teori tentang sistem deterministik, tetapi pada gerakannya sangat sensitif terhadap kondisi-kondisi inisial sehingga tidak memungkinkan adanya prediksi jangka panjang.
[4] Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, stagnasi diartikan sebagai keadaan mandek, berhenti, tidak bergerak, atau diam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar