Pagi
itu, aku memulai bekerja di perusahaan periklanan swasta di Jakarta. Rasanya
senang sekali mendapat pekerjaan itu. Dengan berbekal pendidikan S1 Komunikasi
Massa, aku mendapat posisi strategis. Tak lama berselang, aku menemukan sesosok
teman sekaligus tempat aku berkeluh kesah dan bercerita, namanya Endah. Kami
berdua adalah muslim yang baik. Dan kami cocok satu sama lain dalam hal soal
bisnis periklanan saat kami berdiskusi bersama. Kami seperti sahabat, bahkan
seperti keluarga.
Tapi,
sampai suatu ketika. Setahun setelah meniti karier, sebuah tragedi batin pun
datang. Ada satu orang yang kurang suka dengan penampilanku yang sehari-hari
menggunakan hijab, begitu pula dengan Endah. Yang dimaksud adalah direktur
kantor kami, Pak Gusman, namanya. Beliau sangat benci terhadap segala yang berbau
agama di kantornya. Betapa terkejutnya aku mendengar beliau menyuruhku untuk
melepas hijab dan harus berpakaian internasional yang mencirikan perempuan
karier yang sesungguhnya. Astagfirulloh ... mana mungkin aku menanggalkan
pakaian yang sudah nyaman dan menjadi istiqomah buatku? Sementara Endah juga
berpikiran demikian. Sungguh. Ini bagai bom yang meledak di saat yang kurang
tepat.
Di
hari berikutnya, aku mendapat ujian yang lebih berat lagi. Ketika aku izin
istirahat sebentar untuk melaksanakan sholat Dhuha 4 rokaat, aku dan Endah
dipanggil lagi oleh beliau. Betapa kalapnya beliau melihatku dan Endah
meninggalkan setumpuk laporan iklan perusahaan hanya untuk melaksanakan ibadah
yang menurutnya tidak penting dan bisa merusak kinerja perusahaan itu. Aku pun
hanya bisa bersabar dan harus tetap istiqomah. Dibalik ini semua, pasti ada
hikmahnya. Endah sampai punya pikiran kenapa
ibadah sampai sebegitunya dilarang? Padahal ibadah itu wajib bagi yang
menjalankan. Bersabar lagi menjadi kunci untuk bisa tetap bertahan dalam
kondisi seperti ini.
Dan
menurut beliau, aku dan Endah harus bisa mencontohkan pegawai perempuan yang
bekerja di kantor itu, berpakaian yang sesuai dengan perkembangan mode dan
zaman. Bayangkan, pakaian hanya jas dan kemben yang kelihatan belahan dada dan
panjang roknya sampai sepaha itu, bisa dijadikan contoh wanita karier
sesungguhnya? Masya Allah, kuatkanlah hambaMu ini.
Sampai
pada suatu ketika, saat aku dan Endah selesai menunaikan ibadah sholat Ashar,
tiba-tiba seorang pegawai mengajak aku dan Endah berbicara soal Pak Gusman di
kantin kantor yang berada di belakang gedung. Betapa terkejutnya aku dan Endah
mendengar cerita pegawai yang bernama Mbak Nana, ternyata Pak Gusman dibesarkan
dari keluarga yang berbeda keyakinan. Serta sempat bersekolah di sekolah
Katholik di daerah Surabaya sana sampai SMA. Sehingga kehidupan beragama beliau
sangatlah kacau mengingat ia hidup dalam keluarga beda “jalur”. Dan tidak
sempat menyelesaikan kuliah karena terputus akibat beliau sempat dipenjara
selama tiga tahun terkait kasus penjualan obat-obatan terlarang. Kacaunya
kehidupan Pak Gusman membuatku berpikir, inikah
dampak dari mempermainkan dan membenci semua yang berbau agama? Mengapa sampai
kacau kehidupannya? Dan seakan logikaku juga berpikiran sama. Begitu juga
dengan Endah.
Delapan
bulan kemudian, aku mendapat diskriminasi baru, yang ini memang terbilang cukup
melecehkan. Istilahnya, sih, agak merendahkan. Hinaan dan cacian pun datang
dari asisten direktur yang mengatakan bahwa aku harus menanggalkan pakaian
muslimah dan hijab yang menurutnya tidak gaul, berlagak alim, dan sulit berbaur
dengan karyawan wanita yang berpakaian fashionable
dan glamour. Ya Allah, sampai
berapa lama lagi aku harus mendapat diskriminasi yang sama? Tertunduk dan
terkulai lemas. Mendengar dan mencerna cacian dan hinaan yang datang
bertubi-tubi padaku.
Hingga
pada akhirnya, pemecatan pun menjadi solusi terakhir Pak Gusman untuk
mengusirku dan Endah dari kantor itu. Beliau memberikan alasan yang
dibuat-buat, tentang cara pakaianku yang norak, tidak fashionable, jadul, semua alasan itu disebutkan satu-satu. Tanpa
jeda. Tanpa berhenti. Dan tanpa spasi dan koma. Aku dan Endah hanya tertunduk
malu berhadapan dengan atasan macam itu. Bahkan beliau sampai mengadu pada general manager yang berada di lantai 8
gedung itu. Astagfirulloh, sampai beginikah mereka memandang aku dan Endah
sebegini rendahnya? Dan keputusannya, aku dan Endah dipecat dari kantornya.
Kulihat Endah tampak tegar menghadapinya. Bagaimana
bisa? Kenapa dia bisa jauh lebih tegar daripada aku? Kita berdua berkaca.
Tanpa berkedip.
Setelah
insiden yang membuatku dan Endah malu. Aku segera melaksanakan sholat Ashar di
masjid kantor. Aku pun menangis sejadi-jadinya, khusyuk memanjatkan sholawat
nabi dan lantunan ayat suci Al-Qur’an dan beistighfar tiga puluh tiga kali. Dan
aku berdoa, semoga ada keajaiban dalam
karierku, dan orang yang mendzolimiku diberikan hidayah dan inayah yang pantas
dariMu.
Tiga
bulan kemudian. 14 September. Usiaku bertambah. Aku, Endah, dan karyawan yang
nasibnya sama denganku merayakan ulang tahunku dengan sederhana. Pengajian
saja. Sekaligus santunan untuk anak yatim. Walau tak seberapa, setidaknya
inilah yang bisa aku kasih kepada mereka. Bahkan aku mendapat doa dari pemilik
panti asuhan yang berusia 45 tahun, yang intinya semoga orang yang tidak suka padamu akan berbalik sangka menjadi memuji
padamu, bahkan mendukung apapun cara kamu menghadapi kesabaran dan ketabahan
dalam bencana yang terjadi dalam kehidupan kamu.
Namun,
peristiwa itu terjadi begitu cepat. Perusahaan tempat aku dan Endah bekerja.
Mengalami turbulensi[1] krisis
ekonomi yang hebat. Sahamnya anjlok. Defisit anggaran kantor membengkak. Aku
terkejut tatkala berita di televisi yang terus menyudutkan kantorku yang dulu.
Aku menangkap sekilas pernyataan dari stasiun televisi itu, “penyebab kebangkrutan perusahaan itu karena
disinyalir akibat turbulensi atau hantaman ekonomi yang cukup tajam. Belum
lagi, perusahaan itu memunculkan sejumlah kontroversi, seperti masalah cara
berpakaian bagi kaum wanita yang bekerja di perusahaan tersebut ..” Begitu
petikan yang sebisanya aku tangkap. Aku menelan ludah. Bagaimana media bisa tahu kalau masalahku ini dan Endah menyeruak ke
permukaan? Aku teringat dengan apa yang dikatakan Mbak Nana. Bahwa,
kehidupan Pak Gusman begitu hancur, sehingga agama tidak diprioritaskan.
Mendengarnya seperti kaum atheis[2].
Tidak percaya akan keagungan Tuhan.
Aku
bukan perempuan yang gampang senang dengan penderitaan orang. Aku prihatin
mendengar berita yang semakin menyudutkan. Aku tengah membayangkan kantorku itu
sebentar lagi akan mengalami satu masa yang tak sama sekali aku harapkan.
Menunggu bom waktu dan chaos[3]
yang siap meledak. Dan stagnasi[4]
itu pun muncul. Aku menghela nafas yang panjang.
Dan
setelah perusahaan itu bangkrut. Aku mendapat kabar dari Endah bahwa Pak Gusman
telah meninggal dunia. Ia terserang stroke akibat terlalu memikirkan bagaimana
caranya agar perusahaan yang ia bina bisa bebas melenggang dan terlewat dari
hutang. Dan sebelum beliau wafat, istri dan anak bungsunya telah lebih dulu
wafat. Penyebabnya adalah menjadi korban kebakaran sekolah di Surabaya sana.
Tubuh keduanya hangus. Sulit dikenali. Kini, yang tersisa hanya anak sulungnya,
Karina. Ia begitu terpukul mendapati ayahnya telah terbujur kaku di rumah
sakit. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin itu ungkapan yang tepat bagi
keadaan Pak Gusman dan keluarga. Begitu juga perusahaannya.
Aku
mencoba menenangkan Karina yang masih sesenggukan tidak percaya bahwa ayahnya
pergi begitu cepat untuk selamanya. Bagaimana mungkin bila ia yang selama ini
menjadi penonton di bioskop kehidupan ayahnya pun ditutup karena penyakit yang
sudah lama diderita dan dalam sekejap membunuh jiwanya? Aku pun berpikir, setelah kedua orangtuanya dan adiknya
meninggal, bagaimana kehidupan Karina selanjutnya? Aku juga tidak tahu itu.
Setahuku, Karina yang punya usaha sampingan sebagai pemilik kedai kopi dan online shop, setidaknya itu sudah cukup
membiayai kuliahnya sampai selesai. Tanpa membebankan kedua orangtuanya lagi.
Kini, aku pun mendapat hadiah yang besar. Aku
diterima sebagai redaktur kuliner Halal di sebuah majalah wanita. Sementara
Endah, ditempatkan sebagai redaktur kecantikan. Kita berdua tetap berkomunikasi
dengan Karina, yang kini sudah menunggu waktunya wisuda. Menanyakan yang biasa
ditanyakan “kamu kapan wisuda?”, “bagaimana skripsimu, ada kesulitan?”,
“setelah kuliah, kamu mau teruskan karier atau mau lanjut S2?”, “online shop-mu ada diskon gede-gedean
nggak?”. Serasa makin akrab bila hubungan ini dijaga sampai kapanpun.
Aku bisa mengambil hikmah. Bahwa, sesungguhnya beristiqomah di jalan Allah,
akan menghasilkan sebuah pelajaran. Bagaimana caranya bisa ikhlas dan tabah
dalam menghadapi ujian kehidupan. Semoga dengan kisahku ini, menjadi satu
pelajaran dan hikmah yang dapat dicerna sekaligus diamalkan. Aamiin Allahumma
Aamiin.
[1] Sebuah keadaan yang ditandai ketidakstabilan (disorder)
dan keacakan (randomness) pergerakan di setiap skalanya. Turbulensi menarik
komponen-komponen yang dipengaruhinya ke arah tertentu dan kemudian melepasnya
secara tiba-tiba atau mengalami guncangan.
[2] Sebuah pandangan
filosofi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan ataupun penolakan terhadap
teisme. Dalam pengertian yang paling luas, istilah ini adalah ketiadaan
kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.
[3] Teori tentang sistem
deterministik, tetapi pada gerakannya sangat sensitif terhadap kondisi-kondisi
inisial sehingga tidak memungkinkan adanya prediksi jangka panjang.
[4] Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, stagnasi diartikan
sebagai keadaan mandek, berhenti, tidak bergerak, atau diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar