Minggu, 27 September 2015

Ketika Penghinaan Jadi Senjata Ampuh

Permasalahan yang terjadi berawal dari sini ....
S
aya, sampai hari ini merasa ada sesuatu yang aneh dan tidak mengerti sama sekali, sejak diadakannya ajang Formasi (Forum Silaturahmi Mahasantri) 2015 di Pesantren Internasional K.H. Mas Mansur, eksistensi dari kedua organisasi sebagai suatu ‘lembaga’ yang terhormat, namun nyatanya menjadi tanda tanya bagi saya hingga sekarang.
Entah mengapa saya harus mengatakan ini karena sejak acara itu berlangsung, dan ketika saya datang untuk liputan kegiatan tersebut, suasananya menjadi lain. Eskalasi yang dirasakan sudah cukup membuat saya agak ragu. Ragu untuk ngomong secara lisan, kalau secara tulisan bisa diperbaiki dan direvisi, sementara lisan tidak bisa.

Baiklah, mari saya ceritakan. 3 September 2015, Formasi 2015 sebetulnya akan dibuka pukul 19.30, namun sepengetahuan saya agak molor kurang lebih setengah jam, jadi jam 20.00. Saya datang ke Community Building (kantin Pesma), untuk liputan acara pembukaan. Nah, saya harus mendapat nuansa agar acara ini bisa ada momen khususnya, hanya saja masalahnya, ada salah seorang kader sebuah organisasi Muhammadiyaj, sebut saja dengan inisial A-H, yang mempertanyakan, “Lho, kamu liputan untuk lembaga Pers kampus?” dan saya saat itu hanya menjawab dengan agak terheran, “Nggak, kok, ini untuk radio kampus.” Nah, dari situ saya sudah merasakan sebuah “aroma” tidak suka di kegiatan itu.
Nah, cuma saya pada saat pembukaan, mereka kelihatannya tidak sadar kalau saya pakai ID Card radio kampus, dan memang dalam liputan ini bertujuan agar jika memang disetujui, nantinya berita tentang kegiatan ini bisa disiarkan, maka secara langsung Pesma—terkenal, tapi kalau tidak bisa, ya setidaknya bisa dalam bentuk teks berita atau press release. Cuma masalahnya adalah, mereka mau atau tidak jika kegiatan ini dipublikasikan ke publik? Itu benar-benar suatu bentuk ‘kematian’ karakter bagi saya pribadi. Karena dengan kehadiran saya dalam acara itu, menurut mereka begitu ‘mengganggu’ dan ‘tidak jelas’.
Malam setelah pembukaan, saya meliput tidak sampai selesai, kemudian saya buat sedikit laporan tentang kegiatan tersebut. Lucunya, saya kurang memerhatikan kredibilitas yang saya tanamkan ketika belajar menulis berita waktu SMA, 5W+1H yang saya gunakan juga agak sedikit lupa-lupa ingat. Tapi, begitu saya ingin merumuskan judul berita yang akan dipilih, pilihannya ada dua: Formasi 2015 Resmi Dibuka, Kolaborasi Dua Organisasi yang “Berseberangan”, atau Formasi 2015 Resmi Dibuka, Kejutan dari Dua Organisasi yang Kerap Tidak Akur. Namun, pada akhirnya, saya pilih judul yang pertama karena dari segi isi berita, memang terlihat ada esensinya, sehingga terlihat menarik dan bisa dipahami secara matang bagi yang membacanya.

Sok—kul
Di hari kedua, sekitar pukul 13.00, saya datang lagi untuk liputan tentang materi ke-pesma-an. Nah, hanya saja, apresiasi panita terhadap kedatangan saya masih sama saja seperti pembukaan. Banyak yang mengira kalau saya ini hanya ‘penonton’ gelap yang mengaku-ngaku sebagai wartawan. Bukannya dapat berita justru malah malu yang didapat karena mereka anggap saya begitu mengganggu kinerja panitia dalam keberlangsungan acara. Menghela nafas yang panjang untuk mereka.
Yang agak aneh itu ketika anak ‘kemayu’ berinisial F-S, masih saja menyombongkan diri ketika melihat saya. Jangankan bicara, untuk menatapnya saja agak emoh. Sikapnya melebihi seorang ‘banci’ yang kelihatannya tidak bisa memperbaiki tali silaturahmi sesama warga Pesma yang hampir mau putus. Memalukan! Saya sudah mulai merasa agak meradang dengan sikapnya yang sok-kul itu. Sepertinya ia sudah terkena ‘sihir’ dari seseorang, entah sesama warga Pesma atau siapa, saya tidak tahu persisnya seperti apa.
Setelah kegiatan tersebut, saya kemudian menulis berita untuk hari kedua. Masalah yang didapat tidak seperti penulisan di hari pertama, hanya saja tidak membuat saya greget dari segi isi berita. Karena dalam pikiran saya, kalau memang penulisan ini tidak dikehendaki oleh diri saya sendiri, sudah, tidak saya tulis. Tapi kalau memang dikehendaki dan segera dipublikasikan, ya sudah, saya tulis. Agak capek kalau membahas bagian ini karena pada waktu itu perasaan saya hampir saja tidak bisa mengontrol emosi.
Kejadian ini masih berlangsung di hari ketiga dan hari terakhir, semua memperlakukan saya juga MASIH sama saja. Nggak suka dan meremehkan pekerjaan yang saya lakukan. Saya merasa cekikikan melihat ada beberapa orang dari kader organisasi Muhammadiyah, ternyata menertawakan saya dalam hati kalau apa yang saya lakukan membuat mereka jadi terhibur untuk menghina saya sehina-hinanya.

Penghinaan Paling Ampuh
Puncaknya adalah .... ketika ada kegiatan outbond sebagai acara puncak kegiatan tersebut, cuma agak aneh ketika saya jalan ke beberapa zona outbond, ada yang masih menertawakan dan meremehkan apa yang sudah saya kontribusikan. Tapi, masalahnya adalah ... astaghfirulloh, penghinaan pun datang pada saya. Dari awalnya hanya candaan, eh malah keterusan dan nggak nanggung-nanggung penghinaannya. Saya mencoba jelaskan apa yang sebenarnya terjadi saat kejadian itu. Namun, karena alasan keamanan saya pribadi, saya hanya membeberkannya sebagian saja. Ada salah seorang kader yang berinisial M-N-A, masih sama organisasinya, menghina saya dengan sebutan “Pers radio krrreeeesssss....!!!”. Praktis, perkataan itu seperti serasa ditebas oleh pedang samurai Jepang. Jleb!
Walhasil, penghinaan yang meluncur dari mulutnya membuat kader-kader lain tertawa terbahak-bahak termasuk salah satu KOLEGA terbaiknya, sebut saja inisial H-F, itu tawanya nggak karu-karuan. Astaghfirulloh. Sampai hati mereka menghina sebegini kejamnya. Pantas saja mereka cenderung tidak cerdas dalam menyampaikan kelakar atau candaan. Kalau nggak bakat, ya sudah lebih baik diam. Yo ojo sak-sak’e dewe nglawak sak elek’e. Itu ‘kan secara tidak langsung menghina saya dan institusi saya. Kalian sadar tidak, sih, kader-kader YANG TERHORMAT? Sepertinya ini benar-benar senjata yang ampuh bagi mereka untuk membunuh karakter seseorang, seperti saya.

Bukan Seperti Babinsa
Saya jadi teringat apa yang dikatakan politisi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, bahwa, Babinsa memang tidak terlalu menonjol di kota besar, layaknya Jakarta. Namun, kalau tidak di-lock, malah tidak beraturan dan keluar dari tujuan semula. Ingat! Pesma nantinya bukan seperti Babinsa—(Bintara Pembina Desa) yang kerjanya hanya mengurusi kader-kader yang dikrimkan untuk membina desa kecil dan pada akhirnya keluar dari ‘benteng’. Kuncinya hanya satu: diniatkan.
Itu salah satu syarat agar dalam menjalankan suatu kegiatan tidak hanya sekedar mencari nama atau popularitas sesaat. Saya juga agak kecewa dengan kinerja IMM dalam kegiatan Formasi lalu. Malu bercampur kesal, mengapa kader-kader yang diharapkan punya kualitas itu hanya mempermainkan atau menyalahi kodratnya sendiri sebagai calon kader sesungguhnya? Saya yakin, pasti dijawab setengah-setengah. Sangat yakin sekali. Terkadang, mereka seakan melupakan segala konsekuensi dari ucapannya itu.

Begitu Menakutkan
Menurut opini saya yang berkembang, yang paling saya kurang suka dari kegiatan ini adalah kolaborasi dua organisasi yang memang tidak pernah saling akur, tapi dipaksa untuk bekerjasama dalam sebuah kegiatan tahunan itu. Cuma yang membuat saya menjadi skeptis luar biasa adalah bisa tidak dengan kolaborasi kedua organisasi yang memang terlihat kurang akur dapat melanggengkan kembali hubungan yang selama ini merenggang dalam menjalankan suatu kegiatan?
Pertanyaan ini menjadi menakutkan ketika saya berpikir ulang tentang apa yang dijelaskan, dan saya jadi terlalu berani untuk memberikan pertanyaan itu. Saya sangat sulit membayangkan dengan jelas bagaimana perkataan itu bisa muncul dalam benak saya yang paling dalam. Yang saya tangkap dari raut wajah mereka adalah tidak senang jika dirinya dan Pesma terkenal. Pokoknya adalah dengan tulisan yang saya buat ini, setidaknya bisa menyadarkan kalian, wahai kader-kader organisasi Muhammadiyah KH Mas Mansur yang terhormat, khususnya ‘tersangka-tersangka’ yang menghina saya secara langsung dan tidak langsung. Semoga ini bisa menyadarkan anda-anda semuanya.
Kalau ada yang tidak mau mendengar ataupun menggubris apa yang saya curahkan ini, tidak masalah. Asal, anda-anda semua harus punya tanggung jawab yang tinggi. Oke, bro?

Sebuah Ironi Yang Nyata
Saya tahu, kalian semua nggak begitu suka dengan kehadiran saya di acara kalian, kan? Cuma saya coba tanya balik sama kalian, mau nggak kegiatan kalian bisa dipublikasikan dan bisa disebarluaskan kepada publik? Tanya itu sepertinya TIDAK BERLAKU untuk mereka yang hanya mengejar-ngejar keuntungan dari kedok MEMBANTU. Rasa-rasanya sayang jika hal seperti itu tidak akan dijawab secara utuh. Dan, akan terasa percuma jika dipaksa terus menerus. Memang enak, ya, jika sebuah penghinaan dipergunakan sebagai ‘senjata’ yang paling ampuh untuk membunuh karakter seseorang. Ironi diatas ironi. Sungguh memalukan dan sangat tidak masuk akal. Ironi yang memang terlihat nyata bila saya lihat dan menelisik lebih dalam.
Maaf, kalau dalam tulisan ini saya agak ‘frontal’. Namun, saya harus bisa melihat realita yang ada. Kalau sudah begini jadinya, langsung ungkapkan dan jangan ditutup-tutupi. Saya sudah bisa memberikan kesimpulan bahwa tahun 2015 menjadi the pressure year bagi saya dan Alvin—saudara kembar saya. Terima kasih, 2015, berkat tahun ini, saya bisa paham bagaimana tekanan itu harus disandingkan dan jadi pegangan dalam menghadapi persoalan. Dan, sekali lagi saya mohon maaf kalau saya jadi seperti ini bukan karena ingin berambisi jadi ini atau jadi itu, hanya ingin mendeskripsikan sebuah realita yang terjadi di asrama yang dibiayai sepenuhnya oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Demikianlah, setidaknya saya sudah bisa perlahan-lahan melupakan kejadian ini. Tapi, yang perlu digarisbawahi adalah kalau mau memberikan semacam ‘penghinaan’, pikirkan matang-matang dan jangan langsung menyakiti perasaan orang yang akan dikritik. Jangan sampai kalau sudah ada jenis penghinaan macam begini, malah kamu (yang menghina saya) akan merasakan buah getah dari apa yang diucap. Saya kira cukup untuk menulis semua keluh kesah ini. Semoga bisa didengar oleh semuanya, termasuk ‘tersangka-tersangka’ yang sudah disebutkan bahwa ini sudah saatnya harus diungkapkan, dan harus bisa menyadari semua perbuatan kalian, sekali lagi, tidak bisa lagi ditutup-tutupi.

ALVAN LAZUARDIE ALKHAF
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Semester 3 Universitas Muhammadiyah Surakarta Angkatan 2014
Mahasantri Pesantren Internasional KH Mas Mansur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar