Permasalahan
yang terjadi berawal dari sini ....
S
|
aya, sampai hari ini merasa ada sesuatu
yang aneh dan tidak mengerti sama sekali, sejak diadakannya ajang Formasi
(Forum Silaturahmi Mahasantri) 2015 di Pesantren Internasional K.H. Mas Mansur,
eksistensi dari kedua organisasi sebagai suatu ‘lembaga’ yang terhormat, namun
nyatanya menjadi tanda tanya bagi saya hingga sekarang.
Entah mengapa saya harus mengatakan ini
karena sejak acara itu berlangsung, dan ketika saya datang untuk liputan
kegiatan tersebut, suasananya menjadi lain. Eskalasi yang dirasakan sudah cukup
membuat saya agak ragu. Ragu untuk ngomong secara lisan, kalau secara tulisan
bisa diperbaiki dan direvisi, sementara lisan tidak bisa.
Baiklah, mari saya ceritakan. 3
September 2015, Formasi 2015 sebetulnya akan dibuka pukul 19.30, namun
sepengetahuan saya agak molor kurang lebih setengah jam, jadi jam 20.00. Saya
datang ke Community Building (kantin Pesma), untuk liputan acara
pembukaan. Nah, saya harus mendapat nuansa agar acara ini bisa ada momen
khususnya, hanya saja masalahnya, ada salah seorang kader sebuah organisasi
Muhammadiyaj, sebut saja dengan inisial A-H, yang mempertanyakan, “Lho, kamu
liputan untuk lembaga Pers kampus?” dan saya saat itu hanya menjawab dengan
agak terheran, “Nggak, kok, ini untuk radio kampus.” Nah, dari situ saya
sudah merasakan sebuah “aroma” tidak suka di kegiatan itu.
Nah, cuma saya pada saat pembukaan,
mereka kelihatannya tidak sadar kalau saya pakai ID Card radio kampus,
dan memang dalam liputan ini bertujuan agar jika memang disetujui, nantinya
berita tentang kegiatan ini bisa disiarkan, maka secara langsung
Pesma—terkenal, tapi kalau tidak bisa, ya setidaknya bisa dalam bentuk teks
berita atau press release. Cuma masalahnya adalah, mereka mau atau tidak
jika kegiatan ini dipublikasikan ke publik? Itu benar-benar suatu bentuk
‘kematian’ karakter bagi saya pribadi. Karena dengan kehadiran saya dalam acara
itu, menurut mereka begitu ‘mengganggu’ dan ‘tidak jelas’.
Malam setelah pembukaan, saya meliput
tidak sampai selesai, kemudian saya buat sedikit laporan tentang kegiatan
tersebut. Lucunya, saya kurang memerhatikan kredibilitas yang saya tanamkan
ketika belajar menulis berita waktu SMA, 5W+1H yang saya gunakan juga agak
sedikit lupa-lupa ingat. Tapi, begitu saya ingin merumuskan judul berita yang
akan dipilih, pilihannya ada dua: Formasi 2015 Resmi Dibuka, Kolaborasi
Dua Organisasi yang “Berseberangan”, atau Formasi 2015
Resmi Dibuka, Kejutan dari Dua Organisasi yang Kerap Tidak Akur. Namun,
pada akhirnya, saya pilih judul yang pertama karena dari segi isi berita,
memang terlihat ada esensinya, sehingga terlihat menarik dan bisa dipahami
secara matang bagi yang membacanya.
Sok—kul
Di hari kedua, sekitar pukul 13.00,
saya datang lagi untuk liputan tentang materi ke-pesma-an. Nah, hanya saja,
apresiasi panita terhadap kedatangan saya masih sama saja seperti pembukaan.
Banyak yang mengira kalau saya ini hanya ‘penonton’ gelap yang mengaku-ngaku
sebagai wartawan. Bukannya dapat berita justru malah malu yang didapat karena
mereka anggap saya begitu mengganggu kinerja panitia dalam keberlangsungan
acara. Menghela nafas yang panjang untuk mereka.
Yang agak aneh itu ketika anak ‘kemayu’
berinisial F-S, masih saja menyombongkan diri ketika melihat saya. Jangankan
bicara, untuk menatapnya saja agak emoh. Sikapnya melebihi seorang
‘banci’ yang kelihatannya tidak bisa memperbaiki tali silaturahmi sesama warga
Pesma yang hampir mau putus. Memalukan! Saya sudah mulai merasa agak meradang
dengan sikapnya yang sok-kul itu. Sepertinya ia sudah terkena ‘sihir’ dari
seseorang, entah sesama warga Pesma atau siapa, saya tidak tahu persisnya
seperti apa.
Setelah kegiatan tersebut, saya
kemudian menulis berita untuk hari kedua. Masalah yang didapat tidak seperti
penulisan di hari pertama, hanya saja tidak membuat saya greget dari
segi isi berita. Karena dalam pikiran saya, kalau memang penulisan ini tidak
dikehendaki oleh diri saya sendiri, sudah, tidak saya tulis. Tapi kalau memang
dikehendaki dan segera dipublikasikan, ya sudah, saya tulis. Agak capek kalau
membahas bagian ini karena pada waktu itu perasaan saya hampir saja tidak bisa
mengontrol emosi.
Kejadian ini masih berlangsung di hari
ketiga dan hari terakhir, semua memperlakukan saya juga MASIH sama saja. Nggak
suka dan meremehkan pekerjaan yang saya lakukan. Saya merasa cekikikan
melihat ada beberapa orang dari kader organisasi Muhammadiyah, ternyata
menertawakan saya dalam hati kalau apa yang saya lakukan membuat mereka jadi
terhibur untuk menghina saya sehina-hinanya.
Penghinaan Paling Ampuh
Puncaknya adalah .... ketika ada
kegiatan outbond sebagai acara puncak kegiatan tersebut, cuma agak aneh
ketika saya jalan ke beberapa zona outbond, ada yang masih menertawakan
dan meremehkan apa yang sudah saya kontribusikan. Tapi, masalahnya adalah ... astaghfirulloh,
penghinaan pun datang pada saya. Dari awalnya hanya candaan, eh malah keterusan
dan nggak nanggung-nanggung penghinaannya. Saya mencoba jelaskan apa
yang sebenarnya terjadi saat kejadian itu. Namun, karena alasan keamanan saya
pribadi, saya hanya membeberkannya sebagian saja. Ada salah seorang kader yang
berinisial M-N-A, masih sama organisasinya, menghina saya dengan sebutan “Pers
radio krrreeeesssss....!!!”. Praktis, perkataan itu seperti serasa ditebas
oleh pedang samurai Jepang. Jleb!
Walhasil, penghinaan yang meluncur dari
mulutnya membuat kader-kader lain tertawa terbahak-bahak termasuk salah satu
KOLEGA terbaiknya, sebut saja inisial H-F, itu tawanya nggak karu-karuan.
Astaghfirulloh. Sampai hati mereka menghina sebegini kejamnya. Pantas
saja mereka cenderung tidak cerdas dalam menyampaikan kelakar atau candaan.
Kalau nggak bakat, ya sudah lebih baik diam. Yo ojo sak-sak’e dewe
nglawak sak elek’e. Itu ‘kan secara tidak langsung menghina saya dan
institusi saya. Kalian sadar tidak, sih, kader-kader YANG TERHORMAT? Sepertinya
ini benar-benar senjata yang ampuh bagi mereka untuk membunuh karakter
seseorang, seperti saya.
Bukan Seperti Babinsa
Saya jadi teringat apa yang dikatakan
politisi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, bahwa, Babinsa memang tidak
terlalu menonjol di kota besar, layaknya Jakarta. Namun, kalau tidak di-lock,
malah tidak beraturan dan keluar dari tujuan semula. Ingat! Pesma nantinya bukan
seperti Babinsa—(Bintara Pembina Desa) yang kerjanya hanya mengurusi
kader-kader yang dikrimkan untuk membina desa kecil dan pada akhirnya keluar
dari ‘benteng’. Kuncinya hanya satu: diniatkan.
Itu salah satu syarat agar dalam
menjalankan suatu kegiatan tidak hanya sekedar mencari nama atau popularitas
sesaat. Saya juga agak kecewa dengan kinerja IMM dalam kegiatan Formasi lalu.
Malu bercampur kesal, mengapa kader-kader yang diharapkan punya kualitas itu
hanya mempermainkan atau menyalahi kodratnya sendiri sebagai calon kader
sesungguhnya? Saya yakin, pasti dijawab setengah-setengah. Sangat yakin sekali.
Terkadang, mereka seakan melupakan segala konsekuensi dari ucapannya itu.
Begitu Menakutkan
Menurut opini saya yang berkembang,
yang paling saya kurang suka dari kegiatan ini adalah kolaborasi dua organisasi
yang memang tidak pernah saling akur, tapi dipaksa untuk bekerjasama dalam
sebuah kegiatan tahunan itu. Cuma yang membuat saya menjadi skeptis luar biasa
adalah bisa tidak dengan kolaborasi kedua organisasi yang memang terlihat
kurang akur dapat melanggengkan kembali hubungan yang selama ini merenggang
dalam menjalankan suatu kegiatan?
Pertanyaan ini menjadi menakutkan
ketika saya berpikir ulang tentang apa yang dijelaskan, dan saya jadi terlalu
berani untuk memberikan pertanyaan itu. Saya sangat sulit membayangkan dengan
jelas bagaimana perkataan itu bisa muncul dalam benak saya yang paling dalam.
Yang saya tangkap dari raut wajah mereka adalah tidak senang jika dirinya dan
Pesma terkenal. Pokoknya adalah dengan tulisan yang saya buat ini, setidaknya
bisa menyadarkan kalian, wahai kader-kader organisasi Muhammadiyah KH Mas
Mansur yang terhormat, khususnya ‘tersangka-tersangka’ yang menghina saya
secara langsung dan tidak langsung. Semoga ini bisa menyadarkan anda-anda
semuanya.
Kalau ada yang tidak mau mendengar
ataupun menggubris apa yang saya curahkan ini, tidak masalah. Asal, anda-anda
semua harus punya tanggung jawab yang tinggi. Oke, bro?
Sebuah Ironi Yang Nyata
Saya tahu, kalian semua nggak begitu
suka dengan kehadiran saya di acara kalian, kan? Cuma saya coba tanya balik
sama kalian, mau nggak kegiatan kalian bisa dipublikasikan dan bisa
disebarluaskan kepada publik? Tanya itu sepertinya TIDAK BERLAKU untuk
mereka yang hanya mengejar-ngejar keuntungan dari kedok MEMBANTU. Rasa-rasanya
sayang jika hal seperti itu tidak akan dijawab secara utuh. Dan, akan terasa percuma
jika dipaksa terus menerus. Memang enak, ya, jika sebuah penghinaan
dipergunakan sebagai ‘senjata’ yang paling ampuh untuk membunuh karakter
seseorang. Ironi diatas ironi. Sungguh memalukan dan sangat tidak masuk akal.
Ironi yang memang terlihat nyata bila saya lihat dan menelisik lebih dalam.
Maaf, kalau dalam tulisan ini saya agak
‘frontal’. Namun, saya harus bisa melihat realita yang ada. Kalau sudah begini
jadinya, langsung ungkapkan dan jangan ditutup-tutupi. Saya sudah bisa
memberikan kesimpulan bahwa tahun 2015 menjadi the pressure year bagi
saya dan Alvin—saudara kembar saya. Terima kasih, 2015, berkat tahun ini, saya
bisa paham bagaimana tekanan itu harus disandingkan dan jadi pegangan dalam
menghadapi persoalan. Dan, sekali lagi saya mohon maaf kalau saya jadi seperti
ini bukan karena ingin berambisi jadi ini atau jadi itu, hanya ingin
mendeskripsikan sebuah realita yang terjadi di asrama yang dibiayai sepenuhnya
oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Demikianlah, setidaknya saya sudah bisa
perlahan-lahan melupakan kejadian ini. Tapi, yang perlu digarisbawahi adalah
kalau mau memberikan semacam ‘penghinaan’, pikirkan matang-matang dan jangan
langsung menyakiti perasaan orang yang akan dikritik. Jangan sampai kalau sudah
ada jenis penghinaan macam begini, malah kamu (yang menghina saya) akan merasakan
buah getah dari apa yang diucap. Saya kira cukup untuk menulis semua keluh
kesah ini. Semoga bisa didengar oleh semuanya, termasuk ‘tersangka-tersangka’
yang sudah disebutkan bahwa ini sudah saatnya harus diungkapkan, dan harus bisa
menyadari semua perbuatan kalian, sekali lagi, tidak bisa lagi ditutup-tutupi.
ALVAN
LAZUARDIE ALKHAF
Mahasiswa Jurusan
Ilmu Komunikasi Semester 3 Universitas Muhammadiyah Surakarta Angkatan 2014
Mahasantri
Pesantren Internasional KH Mas Mansur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar